Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) mengaku cemas atas kebijakan pembebasan bea masuk produk-produk AS ke Indonesia dan pelonggaran kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Adapun, kebijakan tersebut merupakan hasil dari kesepakatan antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) untuk menurunkan tarif resiprokal atas produk RI menjadi sebesar 19% dari sebelumnya 32%.
Ketua I Aspaki Erwin Hermanto mengatakan selama ini produk alat kesehatan yang diimpor dari AS memang terbatas pada produk berteknologi tinggi dan inovatif.
“Dengan pengurangan bea masuk menjadi nol, ekspektasi kami produk-produk alat kesehatan dari AS akan menjadi lebih murah,” kata Erwin kepada Bisnis, dikutip Kamis (24/7/2025).
Kendati demikian, menurut Erwin, produk-produk alkes dari AS masih kalah bersaing dengan produk asal China atau negara lain yang cenderung lebih ekonomis. Produk alkes di Indonesia saat ini 80% merupakan impor.
Adapun, sebelum hasil negosiasi diumumkan, produk alat kesehatan dari AS dikenakan bea masuk sebesar 5%—7%. Dia menyebut pangsa pasar AS di Indonesia sudah cukup memenuhi kebutuhan nasional dari impor.
Baca Juga
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor produk alkes (HS 90) dari AS mencapai US$382 juta dengan volume 2,9 juta kg pada 2024. Angka tersebut naik dari tahun sebelumnya US$359 juta dengan volume 3,1 juta kg.
Di sisi lain, Erwin menyoroti kesepakatan pelonggaran persyaratan TKDN yang dinilai akan menghambat investasi jangka panjang dan transfer teknologi di sektor produk inovasi dan produk berteknologi tinggi.
“ASPAKI khawatir pelonggaran TKDN untuk AS ini akan menjadi preseden buruk untuk produk impor dari negara-negara lainnya dan awal dari kemunduran industri dalam negeri,” jelasnya.
Terlebih, dia juga gelisah lantaran kebijakan ini akan membuat negara lain seperti China meminta perlakuan yang sama sehingga potensi menimbulkan persaingan yang tidak sehat di pasar alat kesehatan dalam negeri.
“Tentu saja hasil negosiasi ini akan menjadi bahan pertimbangan dan bahkan dapat menghambat investasi di bidang industri alat kesehatan,” imbuhnya.
Untuk itu, pihaknya akan terus melakukan pengawalan terhadap kebijakan terkait Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dan kebijakan turunan terkait hasil negosiasi tersebut.
“Kami akan terus memantau dan mengkaji dampak daripada hasil negosiasi terhadap pasar domestik maupun ekspor,” tuturnya.
Lebih lanjut, pihaknya akan terus mencari peluang dan menjajaki ekspor produk maupun komponen alkes ke AS dengan kesepakatan tarif baru ini.
Namun, menurut Erwin, dalam situasi seperti ini pemerintah harus mengambil keputusan dan membuat kebijakan dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Apalagi, industri kesehatan merupakan sektor strategis dan vital jangka panjang yang saat ini masih dirintis dan membutuhkan banyak dukungan dari pemerintah.
“Sangat dikhawatirkan gairah investasi dalam negeri di sektor industri alat kesehatan akan terhambat bahkan akan terjadi stagnasi inovasi yang disertai deindustrialisasi prematur,” tuturnya.
Bahkan, dampak buruknya jika tidak ada kebijakan perlindungan maka harapan atas transfer teknologi dari perusahaan luar negeri yang diharapkan pemerintah juga tidak akan terwujudkan dan mimpi bangsa untuk mewujudkan kemandirian alat kesehatan akan semakin tertunda.