Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Deni Friawan

Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Saatnya Menata Ulang Tata Kelola Impor Indonesia

Penghapusan Permendag 8/2024 menjadi peluang untuk reformasi kebijakan impor Indonesia, menyeimbangkan proteksi dan efisiensi dengan pendekatan modern dan transparan.
Peti kemas ditumpuk di geladak kapal kargo One Minato di Port Liberty New York di Staten Island, New York, AS, 2 April 2025./Reuters-Jeenah Moon
Peti kemas ditumpuk di geladak kapal kargo One Minato di Port Liberty New York di Staten Island, New York, AS, 2 April 2025./Reuters-Jeenah Moon

Bisnis.com, JAKARTA - Penghapusan Per­­aturan Menteri Perdagangan (Per­­­mendag) No. 8 Tahun 2024 oleh Kementerian Perdagangan pada 30 Ju­­ni 2025, dan rencana peng­­­gan­tinya yang lebih selektif, perlu dilihat bukan semata sebagai koreksi administratif, tetapi sebagai sinyal kuat atas perlunya perombakan arsitektur kebijakan impor di Indonesia.

Bukan hanya soal dokumen dan prosedur, ini adalah momen penting untuk memperbaiki cara negara ini menyeimbangkan antara melindungi produsen dalam negeri dan menjaga kelancaran rantai pasok produksi nasional.

Kebijakan impor di Indo­nesia selama ini seringkali berayun antara dua kutub yang berlawanan. Di satu sisi, terdapat tekanan untuk melindungi produsen dalam negeri dari lonjakan impor.

Di sisi lain, terdapat kebutuhan yang sama mendesaknya untuk memastikan para pelaku industri dapat memperoleh pasokan bahan baku atau antara tanpa keterlambatan yang berlebihan atau biaya yang memberatkan.

Permendag 8/2024 pada awalnya dimaksudkan untuk menyederhanakan tata niaga impor dan mengatasi berbagai hambatan logistik yang kerap menjadi keluhan pelaku usaha.

Namun, niat baik itu justru memantik kekhawatiran dari industri domestik, terutama sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), yang merasa pasar dalam negeri dibanjiri produk impor tanpa pengamanan yang memadai.

Kelompok produsen, asosiasi industri, dan serikat pekerja menyuarakan keresahan bahwa pembebasan impor tanpa pengawasan bisa mematikan industri nasional yang selama ini menyerap jutaan tenaga kerja.

Langkah pemerintah untuk merevisi aturan tersebut, dengan tetap memberlakukan syarat Pertimbangan Teknis (Pertek) untuk produk-produk hilir tertentu (seperti pakaian jadi dan aksesori), tetapi juga membebaskan bahan baku dari kewajiban serupa, adalah langkah kompromi yang lebih rasional.

Namun, persoalan lebih mendasar tetap perlu dijawab: apakah Pertek masih relevan sebagai instrumen utama dalam mengendalikan impor?

Dalam praktiknya, Pertek kerap menjadi sumber keluhan pelaku usaha. Proses yang panjang, tidak transparan, serta tingginya celah diskresi membuatnya menjadi sumber inefisiensi dan potensi pungutan liar.

Lebih buruk lagi, Pertek belum tentu efektif menahan laju impor yang tidak terkendali. Barang impor tetap bisa masuk lewat manipulasi kode HS, undervaluation, atau penyalahgunaan jalur logistik. Jika demikian, Pertek lebih menyerupai rintangan administratif ketimbang alat pengaman yang efektif.

Indonesia juga makin terikat dengan berbagai perjanjian perdagangan internasional seperti FTA (Free Trade Agreement) maupun CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) dengan China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Asean.

Dalam konteks ini, walaupun penggunaan Pertek masih dibolehkan, pembatasan impor hanya diperbolehkan jika memenuhi prinsip non-diskriminasi, transparan, dan memiliki dasar teknis yang kuat, seperti: alasan keselamatan, kesehatan, atau lingkungan.

Oleh karena itu, jika Pertek digunakan semata sebagai proteksi tersembunyi, Indonesia bisa menghadapi gugatan dalam forum sengketa dagang internasional.

IMPOR MODERN

Dengan tantangan tersebut, sudah saatnya Indonesia mulai mengadopsi pendekatan tata kelola impor yang lebih modern, transparan, dan minim distorsi. Beberapa langkah konkret bisa dipertimbangkan.

Pertama, penggunaan instrumen safeguard berbasis WTO dapat menjadi jalan keluar yang lebih baik. Saat terjadi lonjakan impor yang merugikan produsen dalam negeri, pemerintah dapat menerapkan safeguard dalam bentuk bea masuk sementara.

Ini adalah langkah yang legal, berbasis data, dan bisa dipertanggungjawabkan di mata dunia. Indonesia pernah sukses menerapkannya, misalnya untuk produk kaca lembaran dan tekstil dan produk tekstil (TPT).

Kedua, pendekatan berbasis standar teknis dan kewajiban pelabelan produk bisa diperkuat. Tidak semua perlindungan harus datang dari pembatasan administratif.

Pengetatan SNI wajib, standar keamanan, serta pelabelan negara asal (origin marking) adalah instrumen yang sah dan efektif untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri, sekaligus melindungi konsumen.

Ketiga, Indonesia perlu mulai beralih ke model self-declaration dan post-audit, khususnya untuk importir tepercaya. Sistem ini mengombinasikan kemudahan dan pengawasa berbasis resiko yang merupakan prinsip utama dari tata Kelola modern.

Sistem ini telah banyak diterapkan di negara maju dan terbukti mempercepat arus barang, mengurangi tatap muka (yang rawan pungli), serta menjaga akuntabilitas lewat audit acak yang ketat.

Keempat, jika pun Pertek tetap dipertahankan, maka harus direformasi total: digital penuh, tanpa tatap muka, terintegrasi dengan INSW (Indonesia National Single Window), serta memiliki batas waktu layanan yang jelas. Data kuota dan kebutuhan industri juga harus terbuka untuk mencegah manipulasi dan penyalahgunaan.

Namun, jika reformasi ini tidak dapat dilakukan secara cepat dan menyeluruh, maka akan lebih bijak untuk menghapuskan Pertek sepenuhnya, dan menggantinya dengan sistem pengawasan berbasis risiko dan pembenahan instrumen non-tarif yang lebih efisien.

REFORMASI NYATA

Penghapusan Permendag 8/2024 harus dilihat sebagai peluang strategis untuk membenahi ekosistem kebijakan impor Indonesia. Negara ini tidak perlu lagi terjebak dalam dikotomi antara proteksi dan efisiensi.

Keduanya bisa dicapai secara bersamaan, asalkan kita meninggalkan pendekatan usang berbasis lisensi dan diskresi, dan beralih pada tata kelola yang lebih adaptif, transparan, dan berorientasi jangka panjang.

Tata kelola impor seharusnya tidak menjadi medan tarik-menarik antara kepentingan pelaku industri dan birokrasi perizinan. Ia harus menjadi fondasi dari sistem perdagangan yang adil, akuntabel, dan berdaya saing.

Inilah saatnya Indonesia membangun sistem impor generasi baru yang melindungi apa yang strategis, memfasilitasi apa yang penting, dan menutup ruang yang selama ini dimanfaatkan untuk rente dan distorsi pasar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Deni Friawan
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro