Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia harus bersaing ketat dengan Filipina dan Jepang untuk berebut pasar Amerika Serikat (AS). Ketiga negara ini resmi dikenakan tarif rendah, Indonesia dan Filipina 19%, sementara Jepang 15%.
Researcher, Center of Industry, Trade and Investment Indef Ariyo D. P Irhamna mengatakan beberapa produk Indonesia yang akan berpotensi bersaing ketat dengan Jepang dan Filipina di pasar AS, seperti tekstil dan pakaian jadi, produk kelapa, elektronik, dan hasil laut.
“Jepang memang unggul di segmen teknologi tinggi, sementara Filipina memanfaatkan hubungan politik dekat dengan AS,” kata Ariyo kepada Bisnis, Rabu (23/7/2025).
Merujuk data Departemen Perdagangan AS, nilai impor barang dari Filipina tahun lalu mencapai US$9 miliar. Adapun, produk-produk dari Filipina di AS yaitu komputer dan barang elektronik, makanan olahan, mesin, dan pakaian jadi.
Sementara, impor barang AS dari Jepang mencapai US$148,2 miliar pada tahun 2024, naik 0,7% (US$971 juta) dibandingkan tahun 2023. Produk Jepang yang banyak dipasarkan ke AS yaitu kendaraan roda empat, mesin, mesin listrik, besi baja, dan produk manufaktur lainnya.
Di sisi lain, Indonesia mengekspor berbagai produk ke AS dengan total US$26,31 miliar pada tahun lalu atau surplus US$14,34 miliar. Beberapa produk yang diekspor yaitu mesin dan perlengkapan elektrik, alas kaki, pakaian dan aksesorisnya, furnitur, dan lainnya.
Baca Juga
“Meski Indonesia dikenai tarif 19%, peluang masih terbuka jika strategi diefisiensikan, seperti fokus pada produk bernilai tambah tinggi, memperkuat branding keberlanjutan, dan mendorong konsolidasi eksportir kecil,” jelasnya.
Ariyo juga menilai pemerintah perlu melobi kembali perjanjian dagang dengan AS agar tarif lebih kompetitif, sekaligus meningkatkan daya saing logistik dan sertifikasi produk.
Di sisi lain, dia juga mengungkit langkah lainnya untuk memperluas pasar baru yang saat ini dinilai tidak berjalan sebab tidak semua KBRI terdapat atase perdagangan, dari 94 Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di seluruh dunia, hanya 33 negara yang memiliki atase perdagangan dan ITPC (Indonesia Trade Promotion Centre).
Bahkan di setiap KBRI yang ada atase perdagangan hanya ada 1 orang, atase perdagangan tidak ada staf. Oleh sebab itu, jumlah atase perdagangan perlu diperluas dan ditambah.
Selain itu, KBRI sebagai ujung tombak agenda pemerintah di negara mitra menjadikan diplomasi ekonomi menjadi agenda sekunder.
“Saran saya DCM (Deputy Chief of Mission) atau wakil dubes seharusnya bukan dari kementerian luar negeri, tetapi dari kementerian perdagangan atau kementerian investasi/BKPM,” tuturnya.