Berdasarkan temuan Kementerian Pertanian (Kementan), Tito menuturkan bahwa telah terjadi beberapa praktik kecurangan pascapanen raya yang berimbas pada tren harga beras yang naik.
“Bayangkan produksinya sangat luar biasa, saat ini didorong oleh Kementerian Pertanian, tetapi terjadi distribusi yang tidak baik pasca panen, yaitu adanya beberapa perusahaan yang itu melakukan oplos dan juga mengurangi jumlah,” tuturnya.
Pengoplosan
Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan praktik kecurangan pengoplosan beras premium ini telah merugikan semua pihak, termasuk penggilingan padi dan konsumen.
Sutarto menuturkan bahwa telah terjadi praktik curang dalam beras oplosan premium yang melebihi batas kadar beras patah (broken rice).
Dia menjelaskan bahwa semestinya, komponen mutu beras premium terdiri dari butir kepala minimal 85%, broken rice maksimal 15%, derajat sosoh minimal 95%, dan kadar air maksimal 14%.
Namun, berdasarkan temuan Kementerian Pertanian (Kementan), beras premium yang dijual tidak sesuai dengan standar mutu lantaran broken rice yang mencapai lebih dari 15%.
Baca Juga
“Jadi dianggap oplosannya itu, mengoplosnya itu semestinya broken-nya maksimum 15%, ternyata ditambah lebih dari 15%. Nah itu merugikan semua, konsumen rugi, penggilingan padi pun yang lain juga rugi yang tidak nakal,” kata Sutarto saat dihubungi Bisnis, dikutip pada Rabu (23/7/2025).
Dihubungi terpisah, Pengamat Pertanian dari Core Indonesia Eliza Mardian mengatakan bahwa konsumen akan sulit membedakan antara beras kualitas premium dan medium.
“Kalau konsumen akan sulit membedakan premium medium karena nggak bisa secara persis menghitung maksimal patahannya 15%. Kalau lebih dari itu ya bukan lagi kategori premium,” kata Eliza kepada Bisnis.
Eliza menilai, konsumen justru akan bingung dan sulit mengidentifikasi antara beras premium dan beras medium. “Paling yang terasa oleh konsumen adalah kenapa berasnya jadi lebih banyak yang patahnya,” ungkapnya.
Untuk itu, Eliza meminta agar pemerintah harus bertanggungjawab dengan memastikan produk yang dibeli konsumen sesuai dengan kemasan.
Menurutnya, pemerintah juga harus meningkatkan pengawasan dan menindak tegas pelaku penyelewengan berupa sanksi, termasuk dengan memenuhi pelindungan konsumen.
Namun, Eliza mengatakan bahwa kegiatan campur-mencampur beras alias mengoplos merupakan bagian dari strategi dagang, namun tetap dengan mengikuti persyaratan.
“Boleh pencampuran, asal yang dicampur masih dari jenis yang sama, maksimal patahan 15%, kadar air maksimal 14%, butir menir maksimal 0,5%,” terangnya.
Dia menjelaskan bahwa oplosan ini menjadi strategi produsen untuk memaksimalkan keuntungan di tengah kenaikan harga gabah, sementara dari sisi HET penjualan premium tidak ada penyesuaian yang sepadan.
“Yang nggak boleh itu kalau dicampur tetapi patahannya lebih dari 15%, yang dicampur beda-beda jenis, beda warna, dan beda bentuk. Akhirnya nasi jadi cepat basi,” terangnya.
Di samping itu, Eliza menjelaskan bahwa pengoplosan atau campuran beras JUGA tidak boleh dilakukan antara beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) dengan beras premium.
“Karena SPHP haknya masyarakat menengah bawah agar mereka tetap bisa membeli beras dengan terjangkau ketika harga naik, karena SPHP ini dikeluarkan untuk stabilisasi [harga],” jelasnya.
Core Indonesia juga menyoroti beras yang tak sesuai dengan volume alias tak sesuai dengan takaran. Menurutnya, pemerintah harus lebih aktif melakukan sidak dan pengawasan terhadap produsen beras.
Pasalnya, sambung dia, para pedagang di pasar juga tidak mengetahui apakah beras yang dijual sudah memenuhi standar mutu atau belum.
“Pengecer di pasar mereka juga nggak tahu beras yang dijual itu apakah sesuai dengan standar mutu atau tidak. Yang tahu produsennya,” ujarnya.
Di samping itu, Eliza menambahkan bahwa langkah yang dilakukan pemerintah juga bukan hanya sekadar penarikan beras tak sesuai mutu dari pasar, melainkan juga pengenaan sanksi yang tegas dan diusut hingga ke akar. Terlebih, kata dia, kejadian beras oplosan juga pernah terjadi pada 2017 silam.
“Bukan cuma penarikan, tetapi sanksi tegas dan diusut siapa yang banyak terlibat, karena ini bukan pertama kali pernah terjadi di tahun 2017. Kalau nggak diusut tuntas nanti kejadian ini [beras oplosan] bisa terulang lagi,” tuturnya.
Konsumen Dirugikan Lagi
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyayangkan praktik kecurangan yang merugikan konsumen kembali terulang lagi. Setelah sebelumnya masyarakat dirugikan dengan temuan minyak goreng kemasan atau Minyakita yang dijual tak sesuai takaran dan harga di atas HET.
Kini masyarakat kembali digemparkan dengan temuan beras yang tak sesuai mutu dengan harga yang mahal.
Peneliti YLKI Niti Emiliana menyoroti banyaknya produsen beras ternama yang melakukan kecurangan dengan memanipulasi harga, takaran, hingga mutu.
“YLKI sangat menyesalkan dengan adanya temuan ini. Apalagi banyak produsen beras besar dan ternama yang curang kepada masyarakat dengan memanipulasi pasar, harga, takaran dan mutu,” kata Niti kepada Bisnis.
YLKI menilai temuan beras yang melanggar mutu ini telah menipu dan melanggar hak konsumen. Bahkan, kata dia, produsen dapat dikenakan sanksi pidana dan konsumen berhak mendapatkan ganti rugi sesuai dengan Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen.
Padahal, Niti menuturkan banyak konsumen yang loyal terhadap merek beras tertentu, termasuk beras premium. Alhasil, kini konsumen mempertanyakan pengawasan standar mutu dari pemerintah.
“Dengan temuan ini, konsumen menjadi tidak percaya dengan adanya embel-embel beras premium. Konsumen juga mempertanyakan fungsi pengawasan dari pemerintah,” ujarnya.
Niti meminta agar pemerintah perlu segera melakukan audit rantai pasok beras dari hulu hingga hilir ke tangan konsumen dan mempublikasikan hasilnya kepada masyarakat sebagai bentuk transparansi.
“YLKI menuntut dan mendukung pemerintah untuk memberikan sanksi berat kepada produsen tersebut dan membersihkan mafia beras,” tandasnya.