Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah berupaya menggerakkan perekonomian masyarakat di perdesaan lewat koperasi, yang pada akhirnya diharapkan dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.
Di bawah Kementerian Koperasi, ada program koperasi desa/kelurahan (Kopdes) Merah Putih yang ditargetkan dapat terbentuk sekitar 80.000 desa di seluruh Tanah Air.
Dengan plafon pembiayaan hingga Rp3 miliar per koperasi yang disalurkan melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Kopdes Merah Putih tersebut disebut-sebut berpotensi memberikan keuntungan hingga Rp80 triliun per tahun.
Di sisi lain, di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga ada koperasi open loop atau koperasi yang bisa menjalankan operasional sebagai Lembaga Jasa Keuangan (LJK).
Hingga kini, setidaknya ada sekitar 21 koperasi open loop terdaftar di OJK, dengan total aset mencapai Rp337,30 miliar. Sementara itu, total pembiayaan yang telah disalurkan disebut-sebut sebesar Rp213,26 miliar.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar menilai, secara teknis kedua tipe koperasi tersebut memiliki peluang untuk berkolaborasi.
“Integrasi antarkeduanya bisa dilakukan kalau pemerintah bisa melakukan linkage finance dengan Kopdes sebagai penyalurnya. Cuma dengan skema institusi Kopdes seperti sekarang yang sangat top down dan pengurusnya masih baru dan relatif belum profesional, ini sulit dilakukan dalam waktu dekat,” kata Media kepada Bisnis, dikutip Jumat (18/7/2025).
Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menyebut bahwa koperasi open loop dengan Kopdes Merah Putih memiliki perbedaan kelembagaan dan tata kelola.
Menurut dia, Kopdes memiliki keterbatasan permodalan dan profesionalisme pengelolaan, sementara koperasi open loop lebih terstandardisasi. Hanya saja, imbuhnya, mungkin tidak mempunyai koneksi di komunitas desa.
Dia menjelaskan bahwa pada dasarnya dalam konteks definisi, koperasi bersifat inklusif dan kolaboratif, serta pengelolaannya dilakukan oleh anggota dan untuk anggota. Selain itu, koperasi juga bisa menjangkau masyarakat segmen non-bankable dengan memberikan pinjaman dengan beban bunga yang tidak tinggi.
Sementara itu, dalam Petunjuk Pelaksanaan Menteri Koperasi Nomor 1 Tahun 2025, bidang usaha Kopdes Merah Putih telah diatur dan ditetapkan pemerintah. Dari sisi permodalan, Kopdes Merah Putih akan mendapatkan kredit dari Himbara sebesar Rp3 miliar dan harus dikembalikan melalui cicilan selama 6 tahun.
Merujuk pada ketentuan tersebut, Media menilai Kopdes Merah Putih tidak sesuai dengan kaidah koperasi yang semestinya.
“Koperasi yang definisi koperasi yang sebenarnya tidak sama dengan konsep Kopdes Merah Putih miliknya Prabowo Subianto ini yang bisnis modelnya sudah ditentukan, termasuk operasionalnya dalam banyak kondisi sudah diatur pemerintah pusat. Jadi agak tricky apakah ini koperasi dalam makna koperasi yang sebenarnya apa Kopdes Merah Putih,” tuturnya.
Idealnya, Media melihat koperasi bisa menjadi kolaborator lembaga pembiayaan lainnya seperti bank ataupun multifinance yang berbasis market lokal, dan potensi sebenarnya besar sekali karena memiliki basis anggota dan basis komunitas lokal.
“Dalam konteks ini koperasi bisa menjadi bagian dari ekosistem pembiayaan nasional, jadi bukan pesaing. Tapi kalau Kopdes Merah Putih, ini kita tidak tahu. Hemat saya, dari semua bisnis model Kopdes Merah Putih yang ditentukan pemerintah itu yang paling kuat di masyarakat pasti koperasi simpan pinjam,” tuturnya.
Media menambahkan, sejumlah faktor yang menjadi tantangan implementasi Kopdes Merah Putih saat ini adalah modal awal dan skema pembiayaan yang akan dilakukan. Media juga menyoroti bagaimana ketentuan pemerintah yang mengatur bahwa dana desa juga digunakan sebagai jaminan kredit Kopdes Merah Putih dari Himbara.
“Karena mayoritas Kopdes pakai pembiayaan dari Himbara dan dijamin dengan dana desa. Menurut saya skema ini sangat berisiko, dan justru mempersempit inovasi untuk mendorong ke arah blended finance atau innovative finance yang lebih sustainable,” ujarnya.