Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Negara G7 Dukung Pengecualian Pajak Minimum Global untuk Korporasi AS

Dukungan tersebut disampaikan dalam pernyataan resmi Kanada selaku Ketua Presidensi G7 2025 pada Minggu (29/6/2025).
Seorang pekerja melakukan persiapan KTT G7 di Banff, Alberta, Kanada, 14 Juni 2025./Reuters-Amber Bracken
Seorang pekerja melakukan persiapan KTT G7 di Banff, Alberta, Kanada, 14 Juni 2025./Reuters-Amber Bracken

Bisnis.com, JAKARTA — Negara-negara anggota G7 mendukung sistem baru yang memungkinkan korporasi multinasional asal Amerika Serikat tidak dikenai aturan pajak minimum global 15% yang disepakati dalam Pilar 2 kerangka kerja OECD/G20.

Dukungan tersebut disampaikan dalam pernyataan resmi Kanada selaku Ketua Presidensi G7 2025 pada Minggu (29/6/2025). Pernyataan tersebut menegaskan dukungan atas usulan sistem "side-by-side" yang diajukan oleh Menteri Keuangan AS awal tahun ini.

Dalam sistem ini, perusahaan multinasional asal AS akan dikecualikan dari aturan Income Inclusion Rule (IIR) dan Undertaxed Profits Rule (UTPR), sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan aturan pajak minimum domestik di AS yang sudah berjalan.

“Pemahaman bersama ini dibangun berdasarkan analisis sistem pajak minimum masing-masing negara, termasuk mempertimbangkan perubahan terbaru dalam sistem pajak internasional AS seperti dihapusnya Section 899 dari RUU OBBBA oleh Senat,” tulis pernyataan resmi Kementerian Keuangan Kanada, Minggu (29/6/2025).

Menurut G7, pendekatan side-by-side diyakini mampu menjaga capaian penting yang telah diraih melalui kerangka inklusif OECD/G20 dalam menanggulangi praktik penghindaran pajak dan penggerusan basis pajak (base erosion and profit shifting/BEPS).

Berdasarkan pernyataan itu, G7 mengklaim sistem side-by-side akan memberi empat kepastian. Pertama, sepenuhnya mengecualikan kelompok usaha asal AS dari ketentuan IIR dan UTPR atas laba dalam dan luar negeri.

Kedua, menjamin keadilan dan level playing field dengan komitmen untuk mengatasi potensi risiko BEPS. Ketiga, disertai penyederhanaan administratif dalam penerapan Pilar 2.

Keempat, mendorong penyesuaian dalam perlakuan kredit pajak berbasis substansi agar lebih selaras dengan kredit pajak yang dapat dikembalikan.

“Penerapan sistem ini akan memfasilitasi kemajuan lebih lanjut untuk menstabilkan sistem pajak internasional, termasuk dialog yang konstruktif mengenai pajak ekonomi digital dan kedaulatan pajak setiap negara,” klaim Kanada.

Ancaman Trump Berhasil

G7 menekankan bahwa penghapusan Section 899 dalam versi Senat dari One Big Beautiful Bill Act (OBBBA) merupakan elemen kunci dalam membentuk kesepahaman ini.

Pasal tersebut sebelumnya diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump sebagai bentuk pajak balasan atas negara-negara yang mengenakan pajak minimum global terhadap perusahaan asal AS. Keberadaannya sempat memicu ketegangan di antara negara anggota OECD/G20 dan dikhawatirkan menghambat implementasi Pilar 2.

“Lingkup isu ini lebih luas dari sekadar anggota G7, dan kami menantikan pembahasan lanjutan dalam kerangka inklusif untuk menyepakati solusi yang dapat diterima dan diimplementasikan oleh semua pihak,” tulis pernyataan itu.

Adapun, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mengungkapkan bahwa setidaknya 49 negara—sebagian besar merupakan negara maju di Eropa—telah mengadopsi model Pilar 2 OECD ke dalam peraturan perundang-undangannya.

Salah satu negara itu adalah Indonesia, yang telah menerapkan pajak minimum global 15% sejak 1 Januari 2025 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024. 

Berdasarkan PMK 136/2024, pajak minimum global diterapkan di Indonesia melalui tiga mekanisme utama, yaitu domestic minimum top-up tax (DMTT), IIR, dan UTPR. DMTT dan IIR sudah mulai berlaku sejak 1 Januari 2025, sementara UTPR akan mulai diadopsi pada 1 Januari 2026.

Aturan ini, yang dikenal sebagai Global Anti-Base Erosion (GloBE), merupakan kerangka kerja perpajakan internasional yang dirancang untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional dengan pendapatan tahunan di atas 750 juta Euro dikenai tarif pajak efektif minimum sebesar 15% atas keuntungan berlebih (excess profits) di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper