Bisnis.com, JAKARTA — Ketegangan geopolitik di Timur Tengah dinilai hanya akan menjadi katalis temporer yang menjaga surplus perdagangan Indonesia seiring dengan menguatnya harga komoditas.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan bahwa eskalasi tensi geopolitik di Timur Tengah memang akan mendorong kenaikan harga sejumlah komoditas global strategis, termasuk batu bara dan crude palm oil (CPO).
Dia menyebut, hal serupa pernah terjadi saat pecahnya perang Rusia-Ukraina pada Februari 2022 lalu. Kala itu, nilai ekspor komoditas pertambangan melonjak, dan surplus neraca perdagangan Indonesia meningkat signifikan dari US$3,8 miliar di Februari, menjadi US$4,5 miliar di Maret, dan melonjak ke US$7,5 miliar pada April 2022.
Berdasarkan tren tersebut, dia memprediksi lonjakan harga komoditas yang dipicu oleh konflik Timur Tengah berpotensi menjaga surplus neraca perdagangan Indonesia dalam jangka pendek.
Dia menjelaskan, kenaikan harga batu bara dan CPO akan mendorong nilai ekspor, memperkuat cadangan devisa, dan memberi ruang fiskal tambahan melalui penerimaan negara, baik dari bea keluar maupun pajak sektor sumber daya alam.
"Namun, seperti halnya pada 2022, efek ini cenderung bersifat temporer dan sangat tergantung pada durasi serta intensitas konflik," jelas Yusuf saat dihubungi, Senin (23/6/2025).
Baca Juga
Yusuf melanjutkan, fluktuasi harga CPO dan batu bara akan berdampak langsung terhadap proyeksi devisa ekspor Indonesia. Dia menjelaskan, saat harga tinggi, nilai ekspor akan meningkat tajam meskipun volume relatif stagnan.
Di sisi lain, jika harga komoditas tiba-tiba berbalik turun atau ada hambatan di pasar tujuan ekspor, seperti kebijakan proteksionisme atau penurunan permintaan global, maka pendapatan negara bisa terdampak signifikan.
"Dengan kata lain, volatilitas harga komoditas menciptakan ketidakpastian yang tinggi terhadap proyeksi penerimaan ekspor dan fiskal," tambahnya.
Dia menuturkan, ekspor Indonesia saat ini juga masih cukup bergantung pada komoditas primer, terutama batu bara dan CPO. Kombinasi keduanya secara konsisten menyumbang lebih dari seperempat nilai ekspor nasional.
Ketergantungan tersebut membuat struktur ekspor Indonesia rentan terhadap guncangan eksternal—baik dari sisi geopolitik, harga internasional, maupun regulasi perdagangan negara mitra.
Seiring dengan hal tersebut, Yusuf menyebut strategi jangka panjang yang lebih berkelanjutan untuk Indonesia adalah mendorong diversifikasi ekspor. Dia mengatakan, fokus Indonesia seharusnya tidak hanya pada perluasan jenis komoditas, tetapi juga peningkatan nilai tambah melalui industrialisasi hilir dan ekspansi sektor manufaktur, pertanian olahan, dan teknologi.
"Dengan memperkuat basis industri domestik dan membuka akses pasar ekspor non-tradisional, Indonesia bisa lebih tahan terhadap gejolak global yang bersifat mendadak dan tak terduga," pungkasnya.