Bisnis.com, JAKARTA - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyuarakan keberatan terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di DKI Jakarta.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPRD DKI Jakarta, Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono menekankan pasal-pasal dalam naskah Raperda tersebut semakin memperberat kinerja hotel dan resto.
Sebelumnya, berdasarkan hasil survei terbaru yang dilakukan PHRI DKI Jakarta pada April 2025 terhadap anggotanya, tercatat 96,7% hotel melaporkan terjadinya penurunan tingkat hunian. Hal itu berdampak pada banyak pelaku usaha yang terpaksa melakukan pengurangan karyawan sekaligus menerapkan berbagai strategi efisiensi.
“Jangan lupa bahwa hotel dan resto juga telah turut menyumbangkan PAD bagi DKI Jakarta. Kontribusi ekonominya tinggi dan menyerap lebih dari 600.000 tenaga kerja. Harus disadari bahwa tamu hotel dan restoran itu didominasi oleh konsumen perokok. Kalau merokok dilarang total, tidak diperbolehkan sama sekali, maka ini kemunduran bagi kafe, restoran, dan hotel. Dampaknya luas,” tegas Iwantono, dikutip dari siaran pers, Rabu (18/6/2025).
Berkaca pada profil statistik DKI Jakarta, pascapandemi Covid-19, tercatat hingga Oktober 2023, PAD sektor wisata DKI Jakarta mencapai Rp5,39 triliun. Sebagian besar (61,32%) PAD tersebut didapatkan dari pajak restoran, yakni sebesar Rp3,3 triliun.
Sementara itu, PAD dari pajak hotel mencapai 28,25% serta sisanya dari pajak hiburan sebesar 10,33% dan retribusi sebesar 0,09%. Apabila dibandingkan secara total, PAD sektor wisata telah menyumbang 11,60% dari total PAD DKI Jakarta tahun 2023, yakni sebesar Rp48,6 triliun.
Baca Juga
“Peraturan semacam ini, prosesnya harus bertahap, tidak bisa ujug-ujug. Ekonomi akan terguncang, nanti masyarakat terkejut. Kami mohon, tolong pelaku usaha dilibatkan dalam proses penyusunan Raperda KTR ini. Ini soal bagaimana dampaknya pada kemampuan hotel ke depan. Oleh karena itu, kami harus diajak diskusi,” ujar Iwantono.
Inad Luciawaty, Anggota Pansus KTR DPRD DKI Jakarta juga mengutarakan kekhawatirannya atas dampak Ranperda KTR ini bagi kondisi ekonomi masyarakat.
“Tidak menutup kemungkinan, bahwa memang harus ada kawasan khusus merokok. Ini tidak bisa dihilangkan atau dihapus total, karena memang masyarakat kita banyak perokok. Terutama di mal, resto dan kafe, harus ada kawasan khusus merokok,” paparnya.
Anggota legislatif dari Dapil 10 DKI Jakarta ini mengingatkan bahwa penyusunan Raperda KTR dapat mencontoh negara maju seperti Jepang dan Singapura yang menyediakan tempat khusus merokok. “Di Jakarta harusnya bisa dibikin sepeti itu, jangan sampai semuanya jadi repot,” sebutnya.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga secara khusus menyoroti pasal mengenai larangan berjualan rokok dalam radius 200meter dari satuan tempat pendidikan dan tempat bermain anak. Pasal larangan ini, menurut Inad, akan sulit diterapkan khususnya di kawasan padat pemukiman.
“Bagaimana dengan sekolah di dekat pemukiman atau padat penduduk, termasuk di kawasan kumuh. Apakah memang bisa diterapkan? Ini pasti akan terjadi kucing-kucingan. Ini bagaimana teknisnya? Apakah bisa dilakukan? Jangan sampai justru yang terjadi aksi sembunyi-sembunyi. Bagaimana teknis pengawasannya dan penerapan sanksi? Jangan sampai menimbulkan ekses negatif. Ini harus dipikirkan juga,” tambahnya.