Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Trump-Ishiba Gagal Capai Titik Temu, Ekonomi Jepang Kian Terdesak

Salah satu isu utama adalah tarif impor kendaraan yang mencapai 25%, yang dinilai memberikan pukulan telak terhadap ekspor utama Jepang.
Papan saham elektronik perusahaan sekuritas di Tokyo, Jepang, menampilkan indeks Nikkei 225 Stock Average  pada Selasa, 28 Januari 2025./Bloomberg-Toru Hanai
Papan saham elektronik perusahaan sekuritas di Tokyo, Jepang, menampilkan indeks Nikkei 225 Stock Average pada Selasa, 28 Januari 2025./Bloomberg-Toru Hanai

Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba gagal mencapai kesepakatan dagang dalam pertemuan bilateral di sela-sela KTT G7. 

Hal ini memperbesar kekhawatiran resesi di Jepang seiring tekanan tarif AS yang terus membebani perekonomian Negeri Sakura.

“Kami belum mencapai kesepakatan karena masih ada sejumlah hal yang belum disepakati bersama,” ujar Ishiba kepada dikutip dari Bloomberg, Selasa (17/6/2025), di Calgary, Kanada.

Kegagalan tersebut dinilai dapat menurunkan citra Ishiba menjelang pemilu majelis tinggi bulan depan. Sebelumnya, dia menyebut forum G7 sebagai momentum penting untuk menuntaskan negosiasi tarif yang sudah berlangsung lebih dari dua bulan.

Salah satu isu utama adalah tarif impor kendaraan yang mencapai 25%, yang dinilai memberikan pukulan telak terhadap ekspor utama Jepang. 

Dalam pernyataannya, Ishiba menegaskan bahwa pemerintah akan terus menjalin koordinasi intensif dengan AS untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan tanpa mengorbankan kepentingan nasional Jepang.

Namun, Ishiba enggan menyebutkan kapan kesepakatan itu dapat tercapai, dengan menyatakan bahwa negosiasi akan berlanjut di tingkat menteri.

Jepang seperti negara lainnya saat ini menghadapi tarif 25% untuk mobil dan suku cadang, serta 50% untuk baja dan aluminium. Selain itu, tarif barang lainnya yang semula 10% akan meningkat menjadi 24% pada awal Juli. 

Ketika ditanya apakah batas waktu tersebut akan diperpanjang, Ishiba menolak memberikan komentar.

Fokus utama negosiasi adalah sektor otomotif yang menjadi tulang punggung ekonomi Jepang. Menurut Asosiasi Produsen Mobil Jepang, industri otomotif mempekerjakan sekitar 5,6 juta orang, sekitar 8,3% dari total tenaga kerja, dan menyumbang hampir 10% dari produk domestik bruto (PDB) nasional.

Beberapa produsen besar seperti Toyota Motor Corp., Honda Motor Co., Mazda Motor Corp., dan Subaru Corp. memperkirakan akan menanggung kerugian kolektif lebih dari US$19 miliar hanya dalam tahun fiskal ini akibat tarif tersebut.

“Industri otomotif merupakan kepentingan nasional Jepang. Kami akan melakukan segala cara untuk melindunginya,” tegas Ishiba.

Dampak dari tekanan tarif tidak hanya dirasakan oleh korporasi besar, tetapi juga oleh jaringan usaha kecil dan menengah yang menjadi penopang industri otomotif. Dua pertiga dari tenaga kerja Jepang bekerja di perusahaan dengan jumlah karyawan di bawah 1.000 orang, banyak di antaranya terkait langsung atau tidak langsung dengan sektor otomotif.

Menjelang KTT G7, media lokal melaporkan bahwa Jepang telah menawarkan berbagai konsesi untuk memperkecil defisit dagang dengan AS, mulai dari peningkatan impor kedelai dari AS hingga kerja sama di sektor galangan kapal.

Tokyo juga berupaya meyakinkan Washington dengan menyoroti posisinya sebagai investor asing terbesar di AS. Pemerintah Jepang menyampaikan bahwa tarif tersebut justru akan melemahkan kemampuan Jepang dalam berinvestasi di AS.

Investasi langsung Jepang di AS tercatat mencapai US$783 miliar pada akhir 2023. Dalam pertemuan puncak dengan Trump pada Februari lalu, Ishiba berkomitmen untuk meningkatkan nilai investasi tersebut hingga US$1 triliun.

Sebagai imbalannya, Jepang telah berulang kali meminta agar seluruh tarif yang dikenakan oleh AS dicabut sepenuhnya. Namun, sejauh ini, usulan tersebut belum membuahkan hasil konkret.

Kendati demikian, popularitas Ishiba sempat mengalami kenaikan dalam beberapa pekan terakhir, sebagian berkat langkah Menteri Pertanian Shinjiro Koizumi dalam menekan kenaikan harga beras yang menjadi sorotan publik di tengah tekanan inflasi. 

Survei FNN yang dilakukan akhir pekan lalu menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap Ishiba naik lima poin menjadi 38%.

Namun, kegagalan mencapai kemajuan nyata dalam perundingan dagang berisiko menghapus pencapaian tersebut.

Padahal, Jepang termasuk negara pertama yang memulai negosiasi dengan AS dan sempat diperkirakan akan menjadi yang pertama mencapai kesepakatan. Kini, posisi tersebut tampaknya tergeser setelah AS berhasil menjalin kesepakatan dengan Inggris dan mencapai gencatan tarif dengan China.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper