Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia alias Apindo menilai bahwa investasi yang terkonsentrasi ke sektor padat modal menjadi salah satu penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi pada awal 2025.
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengaku khawatir dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada kuartal I/2025 yaitu hanya sebesar 4,87% (year on year/YoY). Pada pada periode yang sama tahun lalu, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,11%.
Masalahnya, sambung Ajib, data-data pada kuartal kedua juga menunjukkan indikator-indikator yang mengarah pada pelemahan ekonomi. Dia mencontohkan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur mengalami kontraksi dengan kisaran 46,7 dan 47,4 pada April dan Mei.
Menurutnya, kontraksi PMI Manufaktur ini secara umum memberikan gambaran dan menjadi indikator penurunan daya beli masyarakat. Dia pun tidak heran apabila Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sebelumnya 4,9% menjadi 4,7% pada 2025.
Ajib pun menilai ada empat faktor utama terjadinya pelemahan indikator-indikator makro pertumbuhan ekonomi. Pertama, investasi yang lebih banyak terkonsentrasi pada sektor padat modal.
"Sehingga multiplier effect terhadap penyerapan tenaga kerja kurang maksimal," jelas Ajib dalam keterangannya, Selasa (10/6/2025).
Baca Juga
Dia pun membandingkan data 10 tahun ke belakang: pada 2014, setiap Rp1 triliun bisa menyerap sampai dengan 4.000 tenaga kerja; sementara pada 2024, setiap Rp1 triliun investasi hanya menyerap kisaran 1.000 tenaga kerja.
Kedua, kemampuan konsumsi masyarakat yang mengalami penurunan. Ajib menilai penurunan konsumsi terjadi karena terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejak awal tahun yang sudah menyentuh lebih dari 70 ribu pada kuartal I/2025.
Ketiga, pola belanja pemerintah atau government spending pada awal 2025. Dia menjelaskan penerimaan pajak pada kuartal I/2025 hanya mencapai 14,7% dari target penerimaan, yang idealnya bisa mencapai 20%.
Kemudian pemerintah melakukan program efisiensi belanja sehingga memberikan sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode awal tahun.
Keempat, konstraksi ekonomi karena faktor eksternal terutama karena kebijakan tarif Trump. Dia mengungkapkan permintaan barang terutama dari AS mengalami penurunan dan neraca transaksi keuangan sejak April 2025.
Dengan kondisi tersebut, Ajib pun mendorong pemerintah membuat orientasi jangka pendek pada Juni dan selanjutnya pada semester kedua 2025. Menurutnya, pemerintah bisa menjadikan government spending sebagai stimulus utama.
Dia mendorong prinsip belanja pemerintah yang mengedepankan penciptaan lapangan kerja, ketahanan pangan, dan energi. Ajib pun berharap program stimulus ekonomi yang fokus dengan pola Bantuan Langsung Tunai (BLT) bisa efektif meningkatkan konsumsi masyarakat dan mendongkrak daya beli.
"Harapannya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua 2025 bisa lebih tinggi atau minimal bertahan dibandingkan kuartal pertama," tutupnya.