Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli buka suara usai kalangan buruh menolak salah satu poin dalam draf aturan pengupahan baru, yakni ihwal pembagian dua kategori kenaikan upah minimum untuk industri padat karya dan padat modal.
Yassierli menjelaskan pembagian tersebut sempat masuk dalam bahan diskusi. Awalnya, pemerintah ingin agar pembagian kategori tersebut dapat melindungi perusahaan yang tengah mengalami kesulitan finansial.
“Itu diskusi awal-awal, esensinya kan kita ingin melindungi perusahaan yang sedang mengalami kesulitan finansial,” kata Yassierli di Kantor Kemnaker, Jakarta Selatan, Senin (25/11/2024).
Setelah pihaknya mempertimbangkan lebih lanjut, Yassierli menilai rencana tersebut tidak mudah untuk diimplementasikan. “Ternyata tidak sesederhana memisahkan padat karya dengan padat modal,” ujarnya.
“Tapi semangatnya adalah kita ingin meningkatkan penghasilan pekerja dengan tetap memerhatikan daya saing usaha,” lanjutnya.
Dalam catatan Bisnis, kalangan buruh menolak draf Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) yang diusulkan oleh Menaker Yassierli. Salah satunya, terkait pembagian dua kategori kenaikan upah minimum untuk industri padat karya dan padat modal.
Baca Juga
Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI Said Iqbal menilai, kebijakan itu dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.168/PUU-XXI/2023.
“Pembagian dua kategori kenaikan upah minimum ini melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi,” kata Said Iqbal dalam keterangannya, Senin (25/11/2024).
Dalam putusan MK, Said Iqbal menyebut bahwa kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu yang disimbolkan dengan α, dengan memerhatikan proporsionalitas kebutuhan hidup layak (KHL).
Untuk itu, kalangan buruh yang terdiri dari Partai Buruh, KSPI, dan KSPSI menolak draft isi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) yang membagi upah minimum menjadi dua kategori tersebut.
Sementara itu, Anggota Depenas dari unsur pengusaha Sarman Simanjorang menyampaikan, draft tersebut tidak hanya memuat kepentingan pekerja dan buruh, tetapi juga kepentingan pengusaha.
Dia menilai bahwa industri padat karya perlu mendapat perhatian khusus, di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini. Apalagi, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri ini cukup besar sehingga kenaikan upah minimum 2025 ini diharapkan tidak semakin membebani industri tersebut.
Lebih lanjut, dia menyebut bahwa tidak ada yang dapat memperkirakan kondisi ekonomi tahun depan, mengingat tahun ini telah terjadi penurunan daya beli dan deflasi dalam lima bulan terakhir.
Dia khawatir, kenaikan upah yang terlalu tinggi di sektor ini membuat pelaku usaha terpaksa melakukan efisiensi yang berujung pada PHK. Untuk itu, dia mengharapkan pemerintah untuk menaikkan upah minimum 2025 dengan mempertimbangkan kemampuan dunia usaha, yang dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, serta kontribusi ketenagakerjaan terhadap pertumbuhan ekonomi.
“...bahwa ada penetapan UMP tambahan yaitu kebutuhan hidup layak, kami bisa menerima itu sejauh angkanya sesuai dengan kemampuan dunia usaha,” pungkas Sarman.