Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Selama 26 Tahun Tak Berubah, Garis Kemiskinan Nasional Masih Relevan?

Saat ini, sudah banyak negara yang merevisi garis kemiskinannya. Hal itu mendorong lembaga internasional seperti Bank Dunia ikut merevisi garis kemiskinan.
Warga beraktivitas di kawasan Menteng Dalam, Jakarta, Senin (27/9/2022). Bisnis/Arief Hermawan P
Warga beraktivitas di kawasan Menteng Dalam, Jakarta, Senin (27/9/2022). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah masih memakai metode pengukuran garis kemiskinan nasional yang sudah berusia 26 tahun. Padahal selama itu, pola konsumsi hingga kualitas hidup masyarakat Indonesia telah banyak berubah.

Di berbagai belahan dunia, sudah banyak negara yang merevisi garis kemiskinannya. Hal itu mendorong lembaga internasional seperti Bank Dunia ikut merevisi garis kemiskinannya.

Per Juni 2025, Bank Dunia resmi mengadopsi basis perhitungan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) 2021 dalam menentukan garis kemiskinan. Sebelumnya, Bank Dunia menggunakan basis perhitungan PPP 2017.

Akibatnya, kini garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah naik dari US$2,15 menjadi US$3 per orang per hari, garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-bawah naik dari US$3,65 menjadi US$4,2 per orang per hari, dan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-atas naik dari US$6,85 menjadi US$8,3 per orang per hari.

Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf menjelaskan bahwa standar garis kemiskinan Bank Dunia itu ditentukan berdasarkan median atau nilai tengah dari garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah, negara berpenghasilan menengah-bawah, dan negara berpenghasilan menengah-atas.

Artinya, jika terjadi kenaikan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia maka banyak negara yang sudah terlebih dahulu merevisi ke atas garis kemiskinan nasionalnya. Arief mencontohkan bahwa 16 dari 23 negara berpenghasilan rendah versi Bank Dunia sudah menaikkan garis kemiskinannya.

"Ini itu bukti yang menunjukkan bahwa negara-negara miskin pun biasa melakukan revisi terhadap garis kemiskinannya. Negara tetangga kita juga yang enggak miskin, melakukannya. Malaysia melakukan di tahun 2018, Vietnam melakukan revisi di tahun 2021," jelas Arief kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

Sayangnya, upaya perbaikan standar kemiskinan di berbagai negara itu belum tampak di dalam negeri. Akibatnya, kini kesenjangan antara standar garis kemiskinan internasional dengan nasional semakin melebar.

Sebagai catatan, Bank Dunia sudah mengategorikan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah-atas sejak 2023.

Jika mengikuti standar terbaru negara berpenghasilan menengah-atas versi Bank Dunia maka persentase masyarakat miskin di Indonesia mencapai 68,2% dari total populasi atau sekitar 194,4 juta orang pada 2024.

Jumlah tersebut jauh tinggi dari perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), yang mencatat penduduk miskin Indonesia 'hanya' 24,06 juta orang atau setara 8,57% dari total populasi per September 2024.

Minimnya jumlah penduduk miskin versi BPS itu tak lepas dari rendahnya garis kemiskinan nasional yaitu sebesar Rp595.242 per orang per bulan. Padahal, garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah-atas versi Bank Dunia sebesar US$8,3 per orang per hari atau sekitar Rp1,5 juta per orang per bulan (konversi menggunakan PPP 2021, bukan kurs valuta asing).

Bahkan, ambang batas garis kemiskinan nasional sebesar Rp595.242 per orang per bulan itu hampir setara dengan ambang batas garis kemiskinan negara berpenghasilan rendah versi Bank Dunia sebesar US$3 per orang per hari atau sekitar Rp545.000 per orang per bulan.

“Padahal, negara-negara [berpenghasilan rendah] itu pendapatan per kapitanya itu paling tinggi juga cuma US$1.100. Kita [Indonesia] sudah US$4.810. Jadi, ini menurut saya peringatan kepada kita. Kita mau terus dikategorikan sebagai negara miskin nih? Garis kemiskinannya mirip dengan mereka,” ujar Arief.

Maju-Mundur Revisi

Arief Anshory blak-blakan bahwa selama ini ada dua faktor yang menyebabkan pemerintah maju-mundur dalam merevisi standar garis kemiskinan nasional.

Pertama, kekhawatiran adanya politisasi karena perbaikan standar kemiskinan akan buat penduduk miskin meningkat tajam. Menurutnya, kekhawatiran tersebut kurang beralasan karena banyak solusi yang bisa dilakukan agar kenaikan standar kemiskinan tidak dipolitisir seperti sosialisasi yang baik dan penggunaan dua versi.

“Umumkan dua versi [garis kemiskinan nasional] sementara, misalkan lima tahun ke belakang dan ke depan,” ujar Arief.

Kedua, sambungnya, ada yang beranggapan bahwa jika garis kemiskinan naik maka anggaran bantuan sosial (bansos) akan ikut membengkak. Arief menilai kekhawatiran itu juga tidak masuk akal karena bansos tidak berkaitan dengan garis kemiskinan nasional.

Dia menjelaskan bahwa penerima manfaat program bansos sudah terspesifikasi berdasarkan desil yang tidak berkaitan dengan garis kemiskinan nasional. Arief mencontohkan, penerimaan Kartu Indonesia Pintar yaitu masyarakat yang berada di desil 1—3 (meliputi 30% kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah).

“Desil itu tidak dipengaruhi berapa garis kemiskinan kita. Ya segitu-gitu saja, karena sudah ada anggarannya. Jadi, tidak ada kaitan dengan besarnya anggaran bansos,” kata Arief.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper