Bisnis.com, JAKARTA - Tanpa banyak disadari, secara nasional harga gabah cenderung menurun. Merujuk data Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga gabah kering panen (GKP) cenderung turun baik di petani maupun penggilingan.
Pada Maret 2025, harga GKP di petani dan penggilingan masing-masing Rp6.586/kg dan Rp6.818/kg, turun menjadi Rp6.548/kg dan Rp6.780/kg di April. Sebaliknya, harga beras medium dan premium di konsumen justru naik.
Pada Maret 2025 harga beras medium dan premium di konsumen masing-masing Rp13.699/kg dan Rp15.549/kg, naik menjadi Rp13.717/kg dan Rp15.567/kg di April.
Selain itu, harga beras telah melampaui harga eceran tertinggi (HET). Merujuk data Bapanas, secara nasional harga beras medium di konsumen pada Januari 2025 Rp13.523/kg, naik jadi Rp13.717/kg pada April. Harga ini di atas HET: Rp13.500/kg, sedangkan harga beras premium di konsumen di periode yang sama bergerak Rp15.451/kg—Rp15.567/kg, masih di bawah HET khusus zona I (Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara Barat) yang HET-nya Rp14.900/kg. Untuk zona II dan III harganya 4,4%—12,9% di atas HET. Situasi ini sudah terjadi berbulan-bulan.
Bukankah Maret—April terjadi panen raya dan produksi melimpah? Merujuk data BPS, produksi beras di Maret 2025 mencapai 5,14 juta ton, dan di April diperkirakan 5,3 juta ton. Dikurangi konsumsi (2,59 juta ton) di Maret terjadi surplus 2,55 juta ton, dan di April 2,71 juta ton beras. Ini surplus yang besar.
Produksi diperkirakan mulai melandai di Mei dan Juni, yang masing-masing sebesar 2,63 juta ton dan 2,22 juta ton beras. Sesuai hukum pasokan-permintaan, ketika permintaan tetap harga beras seharusnya menurun. Mengapa pergerakan harga gabah dan beras asimetris? Mengapa anomali ini terjadi?
Baca Juga
Hemat saya, ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan perberasan, yang celakanya, anomali. Penyimpangan dari kenormalan dimulai, pertama, mengubah drastis kualitas pengadaan gabah Bulog dan mewajibkan penggilingan padi swasta mematuhinya.
Untuk memuluskan pengadaan gabah, dikerahkan aparat Polri dan TNI. Harga pembelian pemerintah (HPP) ditetapkan Rp6.500/kg GKP tanpa syarat kualitas. Harga pembelian beras di Bulog Rp12.000/kg dengan standar kualitas beras diturunkan: derajat sosoh 95%, butir patah 25%, dan menir 2%. Ini tertuang dalam Keputusan Kepala Bapanas No. 14 Tahun 2025 tentang HPP dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras pada 24 Januari 2025.
Di mana-mana berlaku kaidah “ada barang ada harga” alias barang dihargai atas kualitasnya. Gabah di bawah standar kualitas dihargai lebih rendah dari harga patokan. Berlakulah rafaksi harga.
Sialnya, rafaksi harga gabah juga tak ada. Kalau GKP di petani tidak lagi ada syarat kualitas berarti gabah basah karena padi dipanen saat banjir atau saat hujan atau gabah sengaja direndam air agar bobotnya naik harus dibeli Rp6.500/kg. Padahal, kadar air gabah bisa lebih 35%, jauh di atas standar normal (25%). Kalau padi dipanen dini, butir hijau atau butir kapur bisa lebih 20% dari seharusnya maksimal 10%.
Di sisi lain, regulasi itu juga secara implisit mengatur gabah petani berkualitas bagus dihargai sama: Rp6.500/kg. Apa adil? Bukankah ini tidak mendidik petani. Celah regulasi membuka perilaku aji mumpung: panen dini sebelum waktunya, membasahi gabah dengan air agar bobotnya naik atau laku lancung lain.
Bagi Bulog, penanganan gabah aneka kualitas ini selain rumit juga menambah beban. Kalau volume gabah besar, betapa krusialnya menangani gabah basah di saat keberadaan mesin pengering (dryer), baik milik Bulog maupun swasta, amat terbatas? Bagaimana agar gabah tidak rusak?
Ujung dari semua ini, gabah yang diterima Bulog potensial kualitasnya rendah: butir hijau/kapur dan kadar air lebih tinggi dari standar. Ini memunculkan ketidakpastian rendemen alias rendemen rendah. Akhir dari semua ini, biaya produksi beras tinggi, bisa di atas Rp14.000/kg.
Pada saat yang sama kualitas beras hasil giling turun, yang membuat kualitas cadangan beras pemerintah (CBP) juga turun. Ini membuat ongkos penyimpanan besar di satu sisi. Di sisi lain, penetrasi beras di pasar menjadi rendah kala disalurkan.
Kedua, penyetopan penyaluran beras, baik bantuan pangan maupun operasi pasar. Penyetopan ini membuat beras mandeg sebagai stok mati (dead stock), yang membebani Bulog sebagai pengelola stok. Saat ini di gudang Bulog ada stok 3,5 juta ton beras, diklaim tertinggi sejak BUMN ini berdiri.
Diyakini tak lama lagi menyentuh 4 juta ton. Dari stok beras itu ada puluhan ribu ton berusia lebih setahun dan ratusan ribu ton berusia 8—13 bulan. Idealnya beras disimpan hanya 4 bulan. Lebih dari itu beras potensial turun mutu bahkan rusak. Beras berkutu saja heboh, Bulog pasti dihujat jika beras rusak.
Stok besar itu terjadi karena selain sisa stok tahun lalu dari impor (1,8 juta ton) juga karena tidak ada penyaluran. Penyetopan penyaluran seiring penyerapan beras besar-besaran potensial membuat pasar “kering” pasokan, terutama dari swasta.
Karena gabah dan beras mayoritas diserap Bulog dan swasta menahan pengadaan lantaran insentif ekonomi kurang menarik. Ini diduga penyebab harga beras naik. Kalau tiba-tiba terjadi kenaikan harga yang tinggi Bulog pasti kewalahan. Pemerintah akan sulit mengatasi.
Agar situasi ini tidak berkelanjutan perlu koreksi kebijakan. Pertama, HPP harus kembali dilengkapi syarat kualitas, juga ada rafaksi harga gabah. Kedua, harga pembelian beras di Bulog harus disesuaikan agar menarik bagi swasta, setidaknya Rp13.000/kg. Ketiga, HET beras harus disesuaikan.
Gabah adalah input untuk diolah jadi beras. Ketika harga gabah naik tidak masuk akal harga beras tidak disesuaikan. HET beras saat ini ditetapkan tahun lalu kala HPP GKP Rp6.000/kg. Keempat, membuka penyaluran beras.