Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Kaca Berpotensi Tutup Pabrik Jika Defisit Gas Terjadi

Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Putra Narjadin menilai potensi defisit gas dalam negeri dapat mengancam keberlanjutan industri kaca.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Putra Narjadin di sela-sela acara Press Conference & Launch the Glasstech Asia and Fenestration Asia (GAFA) 2025 di Jakarta, Kamis (8/5/2025)./Bisnis-Mochammad Ryan H
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Putra Narjadin di sela-sela acara Press Conference & Launch the Glasstech Asia and Fenestration Asia (GAFA) 2025 di Jakarta, Kamis (8/5/2025)./Bisnis-Mochammad Ryan H

Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Putra Narjadin mewanti-wanti dampak buruk bagi industri kaca jika defisit gas terjadi di Tanah Air. Menurutnya, beberapa perusahaan bisa saja gulung tikar.

Adapun, potensi kekurangan gas dalam negeri diungkapkan oleh PT PGN (Persero) Tbk (PGAS). Potensi kekurangan pasokan gas ini khususnya terjadi wilayah Jawa Barat hingga Sumatra bagian utara mulai 2025 sampai 2035 mendatang. 

Bahkan, penurunan pasokan itu akan terjadi lebih dalam mulai 2028. Ini khususnya untuk wilayah Sumatra Utara. Wilayah ini bisa kekurangan gas hingga 96 juta kaki kubik standar per hari (MMscfd).

Putra menjelaskan, gas merupakan komponen terpenting dalam produksi kaca. Sebab, industri tersebut membutuhkan energi besar untuk pembakaran dan hanya bisa dipenuhi oleh gas alam.

Oleh karena itu, pemberian harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk industri kaca selama ini sangat membantu.

"Ini benar-benar saat ini belum ada alternatif lain karena energi yang dibutuhkan sangat besar dan hanya bisa dipenuhi dengan gas alam ini," ucap Putra di Jakarta, Kamis (8/4/2025).

Adapun, kebijakan HGBT periode kedua kembali berlanjut seiring terbitnya Keputusan Menteri ESDM No 76/2025. Kelanjutan gas murah industri ini kembali berlaku untuk tujuh sektor industri, yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. 

Harga HGBT untuk gas yang digunakan sebagai bahan baku dipatok US$6,5 per million British thermal unit (MMBtu), sementara HGBT yang digunakan sebagai bahan bakar dipatok US$7 per MMBtu.

Menurut Putra, jika defisit gas bener-benar terjadi, HGBT bisa saja dihapuskan atau harganya naik. Imbasnya, industri kaca akan kesulitan bersaing. 

"Jika harga gas itu naik, itu dampaknya sangat besar. Mungkin tak luput akan ada pabrik-pabrik yang tutup karena kami kalah bersaing," ucap Putra.

Lebih lanjut, Putra menuturkan, industri kaca lembaran di Indonesia merupakan kontributor penting bagi sektor manufaktur nasional. Menurutnya, industri kaca bernilai lebih dari US$500 juta.

Dia juga menyebut, industri kaca lembaran Indonesia memiliki kapasitas di atas 1,3 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, pasokan untuk memenuhi permintaan domestik adalah sekitar 800.000 ton sehingga menyisakan surplus yang signifikan untuk dieksplor.

"Indonesia mengekspor kaca apung senilai US$200 juta pada tahun 2023. Hal ini menjadikan Indonesia eksportir kaca apung terbesar ke 10 di dunia. Tujuan ekspor utama meliputi India, Malaysia, Vietnam, dan Korea Selatan," tutur Putra.

Sebelumnya, Direktur Utama PT PGN (Persero) Tbk. Arief S Handoko mengingatkan potensi kekurangan pasokan gas di wilayah Jawa Barat hingga Sumatra bagian utara mulai 2025 sampai 2035 mendatang.  

Dia menyebut, penurunan pasokan itu akan terjadi lebih dalam mulai 2028. Ini khususnya untuk wilayah Sumatra Utara. Wilayah ini bisa kekurangan gas hingga 96 juta kaki kubik standar per hari (MMscfd). 

“Kalau kita lihat dari 2025 sampai 2035 cenderung short gas di Sumatra bagian utara dan tengah ini turun sejak di 2028. Jadi kalau kita lihat sejak 2028 ke 2035 shortage sampai ke 96 MMscfd,” ungkap Arief dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR RI, Senin (28/4/2025).

Arief juga mengungkapkan bahwa kondisi kekurangan pasokan gas bakal merambah ke wilayah lain mulai 2035, seperti Sumatra bagian selatan dan tengah hingga Jawa bagian barat serta Lampung.  

"Profil gas balance PGN periode 2025 sampai 2035 mengalami tren penurunan. Di sini yang akan sedikit lebih mengkhawatirkan di mana sejak 2025 short dari gas balance kita, dari 2025 sampai ke 2035 itu shortage-nya semakin membesar sampai minus 513 [MMscfd]," jelas Arief.  

Menurut dia, penurunan pasokan gas itu terjadi lantaran penurunan produksi blok migas secara alami dan belum ditemukannya sumber gas baru.  

"Ini dipengaruhi atau disebabkan utamanya karena penurunan natural atau natural declining dari pemasok yang belum dapat diimbangi dengan temuan cadangan dan produksi dari lapangan gas bumi baru," katanya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper