Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia berencana meningkatkan impor kapas dari Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu upaya menurunkan tarif resiprokal. Hal ini dilakukan ditengah dominasi impor kapas dari China untuk Indonesia.
Adapun, khusus produk tekstil dan garmen Indonesia, pemerintah AS menerapkan rata-rata tarif bea masuk impor sebesar 47% atau lebih tinggi dibandingkan pengumuman perdana tarif resiprokal pada 2 April 2025 sebesar 32%.
Sebagai upaya menurunkan tarif tinggi ekspor produk garmen Indonesia ke AS, pelaku usaha tengah menawarkan peningkatan impor kapas dari AS. Semula, pangsa impor kapas dari AS hanya sebesar 17% dan direncanakan bertambah hingga 50%.
Jika merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), impor kapas Indonesia paling banyak berasal dari China yang mencapai US$97,02 juta pada Januari-Maret 2025 atau turun 8,76% (year-on-year/yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$106,34 juta.
Sepanjang 2024, impor kapas dari China mencapai US$398,85 juta. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan impor kapas dari Brasil yang berada di posisi kedua mencapai US$311 juta dan Australia yang berada di posisi ketiga senilai US$239,4 juta.
Sementara itu, impor kapas dari AS tahun lalu mencapai US$$151,16 juta. Adapun, pada periode Januari-Maret 2025, nilai impor kapas dari AS sebesar US$23,60 atau turun 41,81% secara kumulatif dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya senilai US$40,56 juta.
Baca Juga
Untuk diketahui, sebelumnya Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkap rencana industri tekstil nasional untuk meningkatkan impor kapas (cotton) dari AS senilai US$400 juta.
Rencana impor ini merupakan bagian dari negosiasi untuk menurunkan tarif resiprokal impor AS atas produk asal Indonesia sebesar 32%. Presiden AS Donald Trump tercatat menunda selama 90 hari implementasi regulasi anyar tersebut.
Wakil Ketua Umum API Ian Syarif mengatakan bahwa selama ini AS hanya memasok 17% dari total impor kapas Indonesia. Pelaku industri berencana menaikkan porsi impor dari AS hingga 50%.
"Setelah agreement [negosiasi] ini ada kejelasan, memang kita bisa ningkatin [impor kapas] cuma naiknya enggak akan signifikan, karena kan kita harus beli fiber dulu, produksi dalam negerinya harus disesuaikan dulu," ujar Ian saat ditemui Bisnis, baru-baru ini.
Terlebih, Ian menilai dibawah kesepakatan yang nantinya terjadi pun AS akan tetap memberikan proteksi dengan standar-standar tertentu yang harus diperhatikan oleh Indonesia.
Negeri Paman Sam memang menerapkan aturan Buy American Provision dalam perdagangan dengan mitra. Dalam aturan itu, insentif diberikan kepada barang impor yang komponennya mencakup bahan baku dari AS.
Meskipun demikian, Ian menegaskan bahwa peningkatan impor kapas dari AS tidak signifikan mengurangi defisit perdagangan yang dirasakan AS dalam perdagangannya dengan Indonesia.
"Kalau untuk defisit itu enggak mungkin, karena itu hanya 2-3%, sekitar US$400 juta. Enggak bisa nutup defisit AS dengan Indonesia," kata Ian.
Kendati demikian, Ian menuturkan bahwa eksportir saat ini cemas dengan hasil negosiasi AS-Vietnam. Sebab, AS meminta agar bahan baku suatu produk harus berasal dari negara yang sama.
"Yang paling menakutkan bagi eksportir sekarang adalah mereka juga kan sekarang sudah tau hasil dari Vietnam negosiasinya, di sana eksklusif mereka bilang bahan bakunya pun harus dari satu negara yang sama dan itu harus diperhatikan," tuturnya.
Dalam hal ini, dia mencontohkan jika harga produk garmen Rp200.000 per pcs, tetapi value added di Indonesia ternyata hanya Rp15.000 untuk ongkos jahit sementara bahan baku impor dari China. Hal ini yang dihindari oleh AS.
"Kan tetep uangnya Amerika ngalir ke sana [China] juga, mereka enggak mau itu," pungkasnya.