Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

CITA Kritisi Laporan Bank Dunia soal RI Kehilangan Potensi Pajak Rp944 Triliun per Tahun

Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengkritisi laporan Bank Dunia yang menunjukkan hilangnya potensi pajak hingga Rp944 triliun per tahun.
Ilustrasi pajak. Dok Freepik
Ilustrasi pajak. Dok Freepik

Temuan Bank Dunia

Laporan Bank Dunia itu sendiri tercantum dalam publikasi bertajuk Estimating Value Added Tax (VAT) and Corpotate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang terbit pada 3 Maret 2025.

Laporan tersebut menganalisis kepatuhan setoran pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan korporasi (PPh Badan) di Indonesia selama 2016—2021. Hasilnya, besarnya kesenjangan pajak (tax gap) menyebabkan efisiensi setoran dua sumber utama penerimaan pajak tersebut sangat rendah.

“Estimasi kesenjangan PPN dan PPh Badan yang tercatat rata-rata [per tahun] mencapai 6,4% dari PDB atau Rp944 triliun pada periode 2016—2021,” tulis Bank Dunia, dikutip Kamis (27/3/2025).

Angka tersebut Bank Dunia dapatkan usai menganalisis indikator kesenjangan kepatuhan (compliance gap) dan kesenjangan kebijakan (policy gap) setoran PPN dan PPh Badan di Indonesia selama 2016—2021.

Kesenjangan kepatuhan sendiri merujuk kepada semua sumber ketidakpatuhan pajak seperti minimnya pelaporan, penhindaran, penipuan, kesalahan administratif, dan sebagainya.

Sementara kesenjangan kebijakan mengacu kepada nilai pajak yang seharusnya dibayar dengan yang sebenarnya apabila seluruh basis pajak dikenakan tarif yang berlaku.

Hasil perhitungan Bank Dunia menunjukkan, rata-rata kesenjangan kepatuhan setoran PPN mencapai Rp386 triliun per tahun selama 2016—2021. Sementara itu, rata-rata kesenjangan kebijakan pengenaan PPN mencapai Rp138 triliun per tahun selama 2016—2021.

Artinya, pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak Rp524 triliun per tahun hanya dari kesenjangan kepatuhan dan kebijakan pengenaan PPN.

Belum lagi dari PPh Badan. Perhitungan Bank Dunia mendapati bahwa rata-rata kesenjangan kepatuhan setoran PPh Badan mencapai Rp161 triliun per tahun selama 2016—2021. Sementara itu, rata-rata kesenjangan kebijakan pengenaan PPh Badan mencapai Rp258 triliun per tahun selama 2016—2021.

Artinya, pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak Rp419 triliun per tahun hanya dari kesenjangan kepatuhan dan kebijakan pengenaan PPh Badan.

Jika dijumlahkan maka kesenjangan kepatuhan dan kebijakan pengenaan PPN dan PPh Badan membuat pemerintah Indonesia kehilangan potensi pajak hingga Rp944 triliun per tahun.

"Secara keseluruhan, kesenjangan kepatuhan memiliki dampak yang lebih besar kepada penerimaan PPN dibandingkan dengan kesenjangan kebijakan. Sebaliknya, kesenjangan kebijakan memiliki dampak yang besar kepada penerimaan PPh Badan dibandingkan dengan kesenjangan kepatuhan," simpul Bank Dunia.

Bank Dunia mengindikasikan bahwa salah satu penyebab belum maksimalnya penerimaan PPN dan PPh Badan di Indonesia karena tingginya ambang batas pengenaan pengusaha kena pajak yaitu hanya yang mempunyai omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun.

Lembaga yang bermarkas di Washington DC, AS itu melihat, tingginya ambang batas tersebut menyebabkan banyak korporasi yang tak dikenai pajak. Selain itu, UMKM menjadi kurang diawasi dan meningkatkan ketidakpatuhan pelaporan pajak formal.

“Menurunkan ambang batas serta memperkenalkan larangan hukum pengelompokan dapat mengurangi selisih [penerimaan yang seharusnya dengan yang sebenarnya] PPN dan PPh,” tulis Bank Dunia dalam laporannya.

Selain itu, Bank Dunia melihat pangsa aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy) di Indonesia juga sangat besar yang nilainya bisa mencapai 17,6% hingga 21,8% dari total PDB. Masalahnya, aktivitas ekonomi bawah tanah tidak terdeteksi secara administrasi perpajakan.

Oleh sebab itu, Bank Dunia menyarankan agar pemerintah harus memperluas akses informasi tentang seluruh kegiatan ekonomi dengan memanfaatkan data pihak ketiga untuk meningkatkan penegakan kepatuhan pajak.

“Wajib pajak yang masih berada di luar sistem—UMKM dan sektor yang tidak dikenakan pajak—harus dimasukkan ke dalam pelaporan PPN dan PPh untuk mengintegrasikan mereka sepenuhnya ke dalam sistem di masa mendatang,” tutup Bank Dunia.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper