Bisnis.com, JAKARTA — Ombudsman mengungkap sebanyak 24 dari 63 sampel volume minyak goreng kemasan sederhana merek Minyakita terbukti mengalami pengurangan takaran alias disunat. Ini artinya, angka itu setara dengan 38,10% dari total sampel Minyakita yang ditemukan.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menyampaikan bahwa temuan itu berdasarkan uji petik selama tiga hari sejak 16–18 Maret 2025 di 6 provinsi, di antaranya Jakarta, Bengkulu, Sumatera Barat, Gorontalo, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Banten.
Mengacu hasil uji petik, Ombudsman menemukan adanya tiga kriteria dalam kasus Minyakita. Salah satunya adalah terkait ketidaksesuaian volume Minyakita.
“Terkait dengan volume [Minyakita], kami menemukan dari 63 sampel itu ada 24 sampel yang volume takarannya itu kurang dari yang seharusnya,” kata Yeka di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Yeka bahkan menyatakan sekitar 5 pelaku usaha melakukan penyunatan isi Minyakita dengan takaran tertinggi, yakni di atas 30–270 mililiter (ml).
“Jadi kemasannya itu kurang lebih berkurang 30–270 mililiter dari yang seharusnya,” ujarnya.
Baca Juga
Lebih lanjut, Ombudsman akan menyerahkan kepada Kementerian Perdagangan untuk melakukan tindak lanjut. “Nah nanti apakah itu nanti sanksi hukum dan segala macamnya yang penting itu di Kementerian Perdagangan,” terangnya.
Selain itu, Ombudsman juga menemukan adanya ketidaksesuaian harga eceran tertinggi (HET) Minyakita. Berdasarkan uji petik, ditemukan seluruh sampel di 6 provinsi alias 63 sampel Minyakita melampaui HET Rp12.500 per liter.
Padahal, dia menyebut, regulasi Minyakita di Kemendag mengatur HET secara rigid, mulai dari produsen, distributor lini 1 (D1), D2, hingga pengecer.
Dia menjelaskan, produsen ke D1 dipatok Rp13.500, D1 ke D2 adalah Rp14.000, D2 ke pengecer seharga Rp14.500, sedangkan pengecer ke konsumen seharga Rp15.700 per liter.
“Tapi apa yang terjadi? Harga meningkat kurang lebih rata-rata Rp2.000 per liternya. Jadi konsumen harus membayar kurang lebih berkisar antara ada yang Rp16.000 [per liter] di paling rendah, paling tertinggi Rp19.000 [per liter], itu yang kami lihat,” tuturnya.
Di samping itu, Ombudsman juga menemukan ketidaksesuaian atribut pelabelan. Alhasil, dia meminta Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (Simirah) di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk dievaluasi agar lebih transparan, sehingga pelaku usaha bisa mendapatkan akses.