Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan surplus neraca perdagangan Indonesia masih akan tetap berlanjut ke depannya.
Kendati begitu, potensi penyusutannya cukup besar dalam beberapa bulan ke depan akibat tekanan dari sisi ekspor dan peningkatan impor.
Berdasarkan data BPS, Josua mengatakan bahwa nilai ekspor Februari 2025 mencapai US$21,98 miliar, meningkat 2,58% dibandingkan Januari 2025 dan naik 14,05% secara tahunan.
Di sisi lain, impor Februari 2025 juga mengalami peningkatan lebih tinggi, yakni 5,18% dibandingkan bulan sebelumnya, mencapai US$18,86 miliar.
“Meskipun neraca perdagangan masih surplus, tren kenaikan impor lebih tinggi dibanding ekspor dapat menyebabkan penyusutan surplus ke depan,” kata Josua kepada Bisnis, Senin (17/3/2025).
Secara kumulatif, BPS mencatat ekspor Januari–Februari 2025 mencapai US$43,41 miliar atau naik 9,16% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, sedangkan impor hanya naik 0,6% menjadi US$36,8 miliar.
Baca Juga
Menurut Josua, ada sejumlah risiko yang dapat mempersempit surplus neraca dagang Indonesia. Pertama, penurunan harga komoditas energi dan mineral.
Josua menuturkan, saat ini harga batu bara dan minyak mentah di pasar global mengalami penurunan, berpotensi mengurangi nilai ekspor komoditas utama Indonesia.
Selain itu, harga nikel di London Metal Exchange juga turun signifikan dari US$45.590/ton pada 2022, menjadi US$16.470/ton pada Maret 2025. Belum lagi, kata dia, pemerintah sejak Januari 2025 resmi melarang ekspor bijih tembaga yang turut menghilangkan salah satu sumber pendapatan ekspor.
Kedua, kenaikan impor bahan baku dan barang modal. Josua mengatakan, impor bahan baku/penolong yang naik 7,44% secara bulanan dengan andil kenaikan 5,38%, mengindikasikan meningkatnya aktivitas industri manufaktur yang bergantung pada bahan impor.
Impor barang modal juga mengalami peningkatan sebesar 5,48%. Menurutnya, hal ini dapat menekan neraca perdagangan jika tak diimbangi dengan peningkatan ekspor berbasis manufaktur.
Ketiga, ketidakpastian permintaan global. Dia menuturkan, Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur di sejumlah negara mitra dagang utama seperti Jepang masih berada di zona kontraksi yakni 49,0, sementara China dan Amerika Serikat (AS) berada di zona ekspansi, masing-masing di level 50,8 dan 52,7.
“Jika permintaan global melemah, ekspor Indonesia bisa terdampak negatif,” ungkapnya.
Keempat, perlambatan kinerja ekspor beberapa komoditas utama. Josua menjelaskan, ekspor batubara pada Februari 2025 mengalami penurunan sebesar 3,79 secara bulanan dan 19,73% secara tahunan akibat harga global yang melemah.
Ekspor besi dan baja juga melemah 6,20% secara bulanan meskipun masih mengalami peningkatan secara tahunan, yakni 19,52%.
“Untuk menjaga surplus perdagangan, pemerintah perlu mendorong ekspor berbasis manufaktur dan meningkatkan diversifikasi produk ekspor ke pasar non-tradisional,” pungkasnya.