Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ragam Siasat Pengusaha Nikel RI Terhindar dari Kebangkrutan

Industri pengolahan nikel tengah dihadapkan dengan boomerang effect imbas masifnya smelter yang ada dan berdampak pada jatuhnya harga nikel.
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyebutkan berbagai siasat yang tengah diupayakan pengusaha penghiliran nikel untuk terhindar dari risiko kerugian finansial hingga kebangkrutan, mulai dari diversifikasi pasar hingga peningkatan investasi riset dan pengembangan. 

Pasalnya, saat ini industri pengolahan nikel tengah dihadapkan dengan boomerang effect imbas masifnya smelter yang ada dan berdampak pada jatuhnya harga nikel, produksi yang melambat, hingga ketergantungan terhadap pasar China. 

Dewan Penasehat APNI Djoko Widayatno mengatakan, pengusaha nikel tengah berupaya mengurangi ketergantungan pangsa pasar China yang saat ini memiliki porsi 80%-90% atas konsumsi nikel Indonesia. Untuk itu, diversifikasi pembeli penting dilakukan dengan mencari pasar alternatif yakni Eropa, Amerika Serikat, dan negara Asia lainnya. 

"Tentunya, harus dengan mematuhi standar keberlanjutan internasional agar produk olahan nikel bisa diterima di pasar global, misalnya dengan praktik pertambangan dan pengolahan ramah lingkungan hingga produk rendah karbon," terang Djoko kepada Bisnis, Senin (10/3/2025). 

Tak hanya itu, pihaknya juga mendorong jalinan kerja sama dengan perusahaan global di industri baterai dan kendaraan listrik (EV) untuk menciptakan permintaan yang stabil. 

Dalam hal ini, dia juga menilai perlunya pengembangan ekosistem hilirisasi yang terintegrasi dengan industri dalam negeri, seperti manufaktur baterai atau baja tahan karat. 

Untuk mendukung hal tersebut, pelaku usaha penghiliran juga tengah memperluas peningkatan investasi dalam hal research and development (R&D) untuk mengembangkan produk bernilai tambah tinggi. 

"Contohnya, nikel sulfat sebagai bahan baku baterai EV, stainless steel berkualitas tinggi, dan material komposit lainnya," tuturnya. 

Inovasi juga didorong ke arah penggunaan teknologi terbaru dalam proses smelting dan refining guna meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan.

Dalam hal ini, diperlukan kerja sama dengan universitas dan lembaga riset untuk mengembangkan teknologi pengolahan yang lebih ramah lingkungan.

Di sisi lain, menurut Djoko, pelaku usaha penghiliran tak dapat sendiri untuk membangkitkan industrialisasi mineral Indonesia. Pemerintah perlu turun tangan dalam hal pengadaan infrastruktur dan energi yang efisien, insentif dan kebijakan pemerintah yang berkelanjutan, hingga penciptaan tenaga kerja terampil.

Dia menuturkan, akses terhadap energi yang murah dan ramah lingkungan sangat penting, terutama untuk smelter yang saat ini masih bergantung pada batu bara.

"Pemerintah perlu mendorong investasi dalam energi terbarukan [PLTS, PLTA, dan PLTN] untuk mendukung produksi yang lebih berkelanjutan dan memenuhi standar ESG internasional," tuturnya. 

Tak lupa, infrastruktur logistik seperti pelabuhan, jalan, dan jaringan listrik yang stabil sangat diperlukan untuk efisiensi operasional.

Di samping itu, kebijakan fiskal yang mendukung seperti insentif pajak, bea masuk nol untuk impor peralatan teknologi tinggi, serta kemudahan perizinan bagi industri hilirisasi.

"Kepastian regulasi terkait ekspor produk olahan nikel, agar pelaku usaha tidak mengalami ketidakpastian akibat perubahan kebijakan mendadak," imbuhnya. 

Lebih lanjut, proteksi terhadap industri dalam negeri dari persaingan tidak sehat, misalnya dengan memastikan harga bahan baku nikel tetap kompetitif untuk smelter dalam negeri.

Tak hanya itu, pengembangan tenaga kerja lokal melalui pelatihan vokasi dan pendidikan tinggi yang berorientasi pada industri hilirisasi nikel. Oleh karena itu, penting untuk transfer teknologi dari perusahaan asing yang sudah berpengalaman dalam pengolahan nikel dan pembuatan baterai EV.

Dalam hal ini, menurut dia, insentif bagi tenaga ahli asing yang bisa membantu mempercepat adopsi teknologi dan pengembangan SDM lokal. 

"Tanpa faktor-faktor ini, industri hilirisasi berisiko mengalami kesulitan dalam jangka panjang, terutama di tengah persaingan global yang semakin ketat. Pemerintah harus membangun industri berbasis nikel untuk memenuhi kebutuhan kehidupan bangsa Indonesia," pungkasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper