Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengakui terdapat berbagai tantangan utama yang tengah dihadapi produsen kala pembangunan smelter nikel kian masif, sementara pangsa pasar tak menentu.
Dewan Penasehat APNI Djoko Widayatno mengatakan, kondisi tersebut tak lain merupakan 'boomerang effect' atau dampak berbalik dari riuhnya investasi smelter nikel yang tak diimbangi dengan serapan optimal ke produk hilir.
"Industri nikel di Indonesia menghadapi tantangan besar akibat boomerang effect dari kebijakan pembangunan smelter dalam negeri dan ketergantungan pasar China," kata Djoko kepada Bisnis, Senin (10/3/2025).
Djoko menerangkan bahwa banyaknya pembangunan smelter dalam waktu singkat telah memicu kenaikan kapasitas produksi secara signifikan. Kondisi ini menyebabkan pasokan produk olahan nikel seperti nickel pig iron (NPI) dan ferronickel meningkat drastis.
Kendati demikian, dia melihat bahwa permintaan global tidak tumbuh secepat itu, terlebih pangsa pasar nikel RI bergantung pada kondisi permintaan China. Hal ini menyebabkan harga nikel beberapa tahun terakhir mengalami penurunan.
"Smelter yang mengandalkan harga tinggi mengalami tekanan finansial, bahkan ada yang merugi atau berisiko bangkrut," tuturnya.
Baca Juga
Untuk diketahui, sekitar 80-90% ekspor nikel Indonesia bergantung pada China, baik dalam bentuk bijih sebelum larangan ekspor, maupun sebagai produk olahan dari smelter.
Dalam hal ini, apabila China mengurangi impor atau mencari sumber lain seperti Filipina atau Afrika, maka kondisi industri nikel dalam negeri akan berdampak lebih serius.
"Ketegangan geopolitik dan potensi perubahan kebijakan perdagangan China bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan bisnis nikel di Indonesia," jelasnya.
Lebih lanjut, terdapat tantangan terkait beban lingkungan dan energi, di mana sebagian besar smelter di Indonesia menggunakan energi berbasis batu bara yang meningkatkan jejak karbon industri ini.
Belum lagi, tekanan dari regulasi global terkait environmental, social, governance (ESG) yang dapat membatasi akses pasar ekspor bagi produk nikel Indonesia, serta degradasi lingkungan akibat penambangan dan limbah smelter juga memicu kritik dari masyarakat dan kelompok lingkungan.
Di samping itu, Djoko juga menyoroti kebutuhan hilirisasi yang lebih berkelanjutan. Pasalnya, saat ini, hilirisasi masih terfokus pada ferronickel dan NPI yang nilai tambahnya relatif rendah.
"Indonesia perlu mendorong produksi produk bernilai tambah lebih tinggi, seperti nikel sulfat untuk baterai kendaraan listrik (EV). Penguasaan teknologi dan investasi dalam industri baterai serta ekosistem EV masih menjadi tantangan," tuturnya.
Di sisi lain, saat ini pemerintah dinilai telah memberikan banyak insentif untuk pembangunan smelter, tetapi jika harga nikel terus turun, beberapa smelter bisa kesulitan bertahan tanpa subsidi tambahan.
Oleh karena itu, perlu kebijakan yang lebih fleksibel untuk memastikan industri ini tetap kompetitif tanpa terlalu bergantung pada satu negara pembeli.
"Secara keseluruhan, tanpa diversifikasi pasar dan inovasi dalam hilirisasi, industri nikel Indonesia berisiko mengalami stagnasi atau bahkan penurunan akibat efek bumerang dari ekspansi smelter yang berlebihan," pungkasnya.