Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Garap Mandiri Proyek DME Pakai Duit Danantara, Pengamat: Tak Realistis

Pendanaan proyek hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) secara mandiri dengan pendanaan dari BPI Danantara dinilai tak realistis.
Truk membawa batu bara di tambang milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA)  di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim , Sumatra Selatan, Rabu (18/10/2023)./JIBI/Bisnis/Abdurachman
Truk membawa batu bara di tambang milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA) di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim , Sumatra Selatan, Rabu (18/10/2023)./JIBI/Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA - Pendanaan proyek hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) tanpa melibatkan investor asing atau secara mandiri dinilai tidak realistis. 

Adapun, proyek DME mandek usai ditinggal oleh investor asal Amerika Serikat, Air Products & Chemical Inc (APCI). Kini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memutuskan proyek DME didanai langsung oleh negara dengan melibatkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara.

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar menilai langkah Prabowo sangat bagus dalam konteks pengembangan energi. Namun, dari aspek investasi dan keuangan, upaya tersebut merupakan langkah berani dan berisiko tinggi. 

Bisman menyebut, mundurnya investor AS dari proyek yang akan menjadi substitusi liquefied petroleum gas (LPG) itu, salah satunya karena faktor keekonomian proyek. Dia mengatakan, proyek DME membutuhkan biaya sangat besar, sementara balik modalnya lama sehingga terdapat risiko finansial yang cukup tinggi. 

"Untuk saat ini jika proyek DME dilakukan 100% biaya negara pasti tidak realistis karena memang kemampuan dana yang terbatas, faktor risiko dan juga masih masih banyak kebutuhan lain yang jauh lebih urgen bagi negara," kata Bisman kepada Bisnis, Selasa (4/3/2025).

Menurut Bisman, pemerintah harus mengkaji dan mempertimbangkan ulang terkait dengan urgensi, kemampuan negara, dan risiko dalam pengembangan DME sebagai subtitusi LPG.  

"Apalagi juga suatu saat harga LPG turun atau sebagian besar bisa dipasok dari gas dalam negeri, maka DME sebagai substitusi LPG menjadi tidak ekonomis, bahkan bisa jadi perlu subsidi," imbuh Bisman.

Lebih lanjut, dia juga mengingatkan potensi gagalnya proyek DME. Sebab, proyek ini memerlukan teknologi tinggi yang belum banyak diterapkan. 

Selain itu, faktor pengawasan dan potensi terjadinya penyimpangan juga harus menjadi perhatian. Bisman menyebut ini sangat berbahaya.

"Kecuali ada pihak luar yang bisa diajak kerja sama untuk berbagi investasi dan risiko, hal ini akan lebih baik dan feasible," katanya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan bahwa proyek DME akan dibiayai langsung oleh pemerintah melalui skema pendanaan yang telah disiapkan.

"Nantinya proyek ini akan dibiayai oleh pemerintah, bukan penugasan [kepada pihak tertentu]," ujar Tri Winarno kepada Bisnis di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (3/3/2025) 

Terkait pelaksana proyek, Tri menjelaskan bahwa pengerjaan DME ini akan melibatkan kerja sama antara berbagai pihak di dalam negeri tanpa dominasi satu perusahaan tertentu.

Dia pun membantah bahwa proyek ini hanya akan dilaksanakan melalui penugasan ke PT Bukit Asam Tbk (PTBA), tetapi nantinya pemerintah akan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait. Sayangnya, Tri tidak memerinci pihak mana saja yang dimaksud

Meskipun belum ada jadwal pasti mengenai kapan proyek ini akan dimulai, Tri memastikan bahwa pelaksanaan akan dilakukan dalam waktu dekat.

"Belum [ada tanggal pastinya], tetapi dalam waktu dekat [akan segera dijalankan]," jelasnya.

Proyek DME menjadi salah satu bentuk hilirisasi batu bara yang didorong oleh pemerintah guna menyubtitusi LPG. Apalagi, Indonesia masih ketergantungan impor LPG.

Berdasarkan keterangan Kementerian ESDM, industri dalam negeri hanya mampu memproduksi LPG sekitar 2 juta ton per tahun. Sementara itu, konsumsi LPG dalam negeri mencapai 8 juta ton sehingga RI masih mengimpor sekitar 6 juta ton LPG senilai US$3,45 miliar per tahun. 

Bahkan, Indonesia harus mengeluarkan devisa yang signifikan untuk impor LPG, sekitar Rp450 triliun keluar setiap tahun untuk membeli minyak dan gas, termasuk LPG.  

Di sisi lain, Indonesia belum mampu menggenjot produksi LPG lantaran kekurangan gas propana (C3) dan butana (C4). Oleh karena itu, DME untuk pengganti LPG menjadi penting.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper