Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Neraca Perdagangan Januari 2025 Surplus US$3,45 Miliar, Pecahkan Rekor 57 Bulan Berturut

Neraca Perdagangan Indonesia pada Januari 2025 mengalami surplus untuk 57 bulan beruntun.
Aktivitas ekspor bongkar muat peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Aktivitas ekspor bongkar muat peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik mengumumkan neraca perdagangan barang Indonesia mencapai surplus US$3,45 miliar per Januari 2025. Dengan demikian, Indonesia mencatatkan surplus selama 57 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan angka surplus neraca perdagangan ditopang dengan tiga terbesar Amerika Serikat (US$1,58 miliar), India (US$0,77 miliar), dan Filipina (US$0,73 miliar).

"Pada Januari 2025, neraca perdagangan barang mencatat surplus sebesar US$3,45 miliar atau naik sebesar US$1,21 miliar secara bulanan," ungkap Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS RI, Jakarta Pusat pada Rabu (17/2/2025).

Surplus perdagangan pada Januari 2025 ditopang oleh keuntungan dagang dari pada komoditas nonmigas, di mana komoditas penyumbang surplus utama adalah bahan bakar mineral (HS 27), lemak dan minyak hewani/nabati (HS 15) serta besi dan baja (HS 72)

Badan Pusat Statistik (BPS) juga melaporkan bahwa ekspor Indonesia pada Januari 2025 mencapai US$21,45 miliar, mengalami penurunan 8,45% secara bulanan (month-to-month/mtm). Penurunan ini terutama disebabkan oleh merosotnya ekspor migas dan nonmigas.

Selanjutnya tercatat, nilai impor Indonesia Januari 2025 mencapai US$18 , turun 15,18% dibandingkan dengan Desember 2024. Jika dirinci, ​​impor migas Januari 2025 senilai US$2,48 miliar, turun 24,69% dibandingkan dengan Desember 2024. 

Sementara itu, ekspor migas tercatat sebesar US$1,06 miliar, turun 31,35% mtm, sementara ekspor nonmigas turun 6,96% menjadi US$20,4 miliar. Namun, secara tahunan (yoy), ekspor Indonesia masih mencatat pertumbuhan 4,86%, didorong oleh peningkatan ekspor pada kelompok komoditas HS89 (kapal dan struktur terapung), HS71 (logam mulia dan perhiasan), serta HS28 (bahan kimia anorganik).

Pada sektor nonmigas, ekspor industri pengolahan mencapai US$17,13 miliar, sementara ekspor pertambangan sebesar US$2,7 miliar dan ekspor pertanian, kehutanan, serta perikanan tercatat US$0,55 miliar. Dari ketiga sektor tersebut, hanya sektor pertambangan yang mengalami penurunan sebesar 2,79% mtm. BPS menyebutkan bahwa pelemahan ekspor pertambangan terutama dipengaruhi oleh turunnya ekspor tembaga dan lignite (batu bara muda).

Di sisi lain, perubahan harga komoditas global pada Januari 2025 mengalami kenaikan secara bulanan. Kelompok energi mencatat kenaikan tertinggi, yaitu 7,32%, terdorong oleh kenaikan harga minyak dan gas. Sementara itu, harga logam mulia melonjak 32,77%, didorong oleh kenaikan harga emas.

BPS juga mencatat bahwa sektor manufaktur di negara mitra dagang utama Indonesia menunjukkan ekspansi, kecuali Jepang yang masih dalam fase kontraksi.

Capaian ini senada dengan proyeksi para ekonom. Diberitakan sebelumnya, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual memperkirakan ekspor Januari 2025 turun 6,9% secara month to month (MtM) dengan nilai mencapai US$21,8 miliar. Sementara itu, impor juga mengalami kontraksi sebesar 4% MtM menjadi US$20,4 miliar. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia diproyeksikan tetap surplus, namun lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya, yakni sebesar US$1,47 miliar, turun dari surplus Desember 2024 yang mencapai US$2,24 miliar.

David menjelaskan bahwa penurunan kinerja ekspor disebabkan oleh turunnya harga komoditas ekspor utama Indonesia, seperti batu bara dan crude palm oil (CPO), sementara harga minyak mentah mengalami kenaikan. Selain itu, jumlah hari kerja yang lebih sedikit pada Januari 2025 juga turut memengaruhi pelemahan kinerja perdagangan.

Namun, secara tahunan, ekspor dan impor masih menunjukkan pertumbuhan masing-masing sebesar 6,58% dan 10,15% year on year (YoY).

"Ke depan, surplus neraca perdagangan masih mungkin berlanjut, tetapi cenderung melemah akibat ketidakpastian kebijakan tarif dari Donald Trump dan belum adanya katalis baru yang dapat mendorong harga komoditas," kata David, Minggu (16/2/2025).

Pandangan serupa disampaikan oleh Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede. Ia memperkirakan surplus neraca dagang Januari 2025 akan menyempit menjadi US$1,76 miliar akibat normalisasi harga komoditas dan meningkatnya kekhawatiran terhadap perang dagang baru yang dipicu oleh kebijakan perdagangan Amerika Serikat.

Menurut Josua, kondisi perdagangan global yang melemah tercermin dari Baltic Dry Index yang menunjukkan tren penurunan signifikan pada Januari 2025. Hal ini mengindikasikan perlambatan perdagangan global dan berkurangnya permintaan untuk pengiriman bahan baku. "Permintaan ekspor dari China melemah karena indikator ekonomi mereka menunjukkan perlambatan yang berkelanjutan," jelasnya.

Ia memproyeksikan ekspor Indonesia turun 7,42% secara bulanan, sejalan dengan pola musiman awal tahun dan pelemahan permintaan eksternal. Namun, secara tahunan, ekspor masih tumbuh 5,99% YoY. Sementara itu, impor diperkirakan tumbuh 7,92% YoY, lebih rendah dari pertumbuhan Desember 2024 yang mencapai 11,07% YoY.

Di sisi lain, Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) Hosianna Evalita Situmorang memiliki pandangan yang lebih optimistis. Ia memperkirakan surplus neraca dagang Indonesia pada Januari 2025 akan mencapai US$1,78 miliar, sedikit lebih tinggi dibandingkan proyeksi David dan Josua.

Optimisme tersebut didasarkan pada peningkatan indeks Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang naik ke 51,9 pada Januari 2025 dari 51,2 pada bulan sebelumnya. Hal ini mencerminkan ekspansi manufaktur yang turut mendorong impor bahan baku.

"Impor meningkat 8,1% YoY seiring dengan kebutuhan manufaktur yang tetap kuat, sementara ekspor tumbuh 6,35% YoY didukung oleh kenaikan harga CPO meskipun batu bara dan baja masih mengalami tekanan," ujarnya. Hosianna menegaskan bahwa surplus neraca perdagangan tetap menunjukkan ketahanan ekspor Indonesia di tengah tekanan harga komoditas global.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper