Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mengkritisi kebijakan baru devisa hasil ekspor (DHE) yang mewajibkan eksportir komoditas sumber daya alam (SDA) menempatkan 100% hasil ekspor di bank dalam negeri. Hal ini berdampak pada kenaikan modal usaha industri kertas.
Aturan DHE tersebut tertuang dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang akan mulai diberlakukan pada 1 Maret 2025 bagi empat sektor, yaitu pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Ketua Umum APKI Liana Bratasida mengatakan, pihaknya mendesak pemerintah untuk meninjau ulang revisi kebijakan yang semula hanya menempatkan DHE 30% dengan durasi 3 bulan, kini 100% selama 1 tahun.
“Jika nilai DHE yang harus ditempatkan dinaikkan menjadi 100% dengan durasi penyimpanan 12 bulan, maka beban biaya pengusaha akan meningkat signifikan. Hal ini juga mengurangi fleksibilitas pelaku usaha dalam mengelola modal kerja," kata Liana, Jumat (24/1/2025).
Padahal, menurut Liana, kebijakan sebelumnya yang mewajibkan penempatan 30% DHE selama 3 bulan pun sudah memberikan tekanan besar bagi sektor ini. Dengan perubahan ini, beban biaya akan melonjak drastis.
Kebijakan ini memberatkan industri pulp dan kertas lantaran saat ini, suku bunga pinjaman bank mencapai 9%-10% per tahun, sedangkan insentif DHE-SDA hanya sebesar 4%-5%.
Baca Juga
“Ketimpangan ini menyebabkan peningkatan biaya modal hingga 5%-6%, yang sangat membebani sektor ekspor,” imbuhnya.
APKI mengusulkan agar bunga pinjaman bank yang menggunakan jaminan DHE disesuaikan dengan bunga deposito DHE-SDA di bank dalam negeri untuk mengurangi beban biaya modal kerja bagi pengusaha.
Dalam hal ini, dia juga menilai bahwa kebijakan DHE tidak relevan bagi industri pulp dan kertas karena tidak termasuk dalam kategori ‘kehutanan’ atau memanfaatkan SDA sebagaimana dimaksud dalam peraturan tersebut.
Adapun, bahan baku industri pulp dan kertas berasal dari hutan tanaman industri (HTI), yang merupakan investasi berbasis keberlanjutan. HTI tidak memanfaatkan sumber daya alam dari hutan alam, melainkan ditanam, dikelola, dan dipanen oleh industri sendiri dalam siklus yang terencana.
Selain itu, industri ini juga menggunakan kertas daur ulang (KDU) sebagai bahan baku, sejalan dengan penerapan prinsip ekonomi sirkular.
“Oleh karena itu, industri pulp dan kertas tidak seharusnya dimasukkan ke dalam kategori sektor ‘kehutanan’ yang diatur dalam PP 36/2023,” terangnya.
Liana menegaskan bahwa karakteristik bahan baku dan pengelolaannya sangat berbeda dengan pemanfaatan sumber daya alam pada sektor kehutanan yang dimaksud dalam peraturan tersebut.
Untuk itu, pihaknya meminta pemerintah untuk mengevaluasi ketentuan dalam Pasal 5 PP No. 36 Tahun 2023 dan memastikan bahwa industri pulp dan kertas dikecualikan dari kewajiban retensi DHE-SDA.
“HTI adalah hutan berbasis investasi yang berkelanjutan dan tidak tergolong sebagai eksploitasi sumber daya alam hutan. Dengan demikian, industri pulp dan kertas tidak seharusnya diperlakukan sama dengan sektor kehutanan dalam PP 36/2023,” jelasnya.
APKI berharap kebijakan ini dapat dirancang secara lebih komprehensif agar tidak menghambat daya saing ekspor nasional.
"Kami mendukung langkah pemerintah menjaga stabilitas ekonomi, tetapi kebijakan ini perlu diselaraskan dengan kondisi industri agar tidak menjadi beban tambahan bagi pengusaha yang justru menjadi motor penggerak ekspor nasional," pungkasnya.