Bisnis.com, JAKARTA — Donald Trump akan dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat periode 2025—2029 pada Senin (20/1/2025) waktu setempat. Sentimen negatif Trump ke China dinilai turut akan berdampak negatif ke Indonesia.
Peneliti China-Indonesia Center of Economic and Law Studies (Celios) M. Zulfikar Rakhmat menjelaskan bahwa Trump sudah kerap menyatakan akan menaikkan tarif hingga 60% untuk produk-produk impor dari China.
Dengan demikian, ke depan perekonomian China menghadapi ketidakpastian. Implikasinya, ditakutkan permintaan China atas produk-produk impor dari Indonesia akan menurun.
Masalahnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan ekspor barang Indonesia memang sangat tergantung kepada China. Selama 2024, total nilai ekspor barang nonmigas Indonesia mencapai US$248,82 miliar.
Dari jumlah tersebut, nilai ekspor nonmigas Indonesia paling banyak ke China yaitu mencapai US$60,22 miliar atau sebesar 24,2% dari total nilai ekspor nonmigas. Sementara itu, di posisi kedua ada Amerika Serikat (AS) dengan nilai ekspor nonmigas sebesar US$26,31 miliar atau setara 10,57% dari nilai total.
Oleh sebab itu, Zulfikar mendorong agar pemerintah mengurangi ketergantungan kepada China di tengah ketidakpastian kebijakan dari Trump yang kerap proteksionis.
"[Harus] diversifikasi mitra ke partner-partner baru, seperti negara-negara Afrika atau Amerika Latin," ujar Zulfikar kepada Bisnis, dikutip Senin (20/1/2025).
Diversifikasi ekspor tersebut, sambungnya, bisa dilalui lewat blok ekonomi BRICS. Zulfikar berharap bergabungnya Indonesia ke BRICS bukan hanya untuk menyenangkan China, tetapi lebih membuka peluang perdagangan dengan negara-negara Afrika dan Amerika Latin.
"Harus lebih banyak promosi komoditas ke negara-negara tersebut," jelasnya.
Ekspor ke China Mulai Menurun
Nilai ekspor barang dari Indonesia ke China mengalami penurunan selama 2024. Padahal, setidaknya sejak 2020, ekspor ke China selalu meningkatkan secara tahunan.
Berdasarkan data BPS, nilai ekspor ke China mencapai US$62,43 miliar selama 2024. Jumlah tersebut berkurang 3,84% dari realisasi nilai ekspor Indonesia ke China pada 2023 yaitu US$64,93 miliar.
Ini menjadi penurunan nilai ekspor Indonesia ke China pertama setidaknya dalam lima tahun terakhir. Secara tahunan, realisasi ekspor Indonesia ke China yaitu US$27,96 miliar pada 2019, US$31,78 miliar pada 2020, US$53,76 miliar pada 2021, US$65,83 miliar pada 2022, US$64,93 miliar pada 2023, dan US$62,43 miliar pada 2024.
Singkatnya, penurunan hanya terjadi pada 2024. Secara lebih terperinci, penurunan nilai ekspor Indonesia ke China pada 2024 disebabkan oleh tiga komoditas utama yaitu besi dan baja, bahan bakar mineral, serta lemak dan minyak nabati.
Tiga komoditas tersebut merupakan barang yang paling banyak diekspor Indonesia ke China selama 2023. Kendati demikian, nilai menurunnya selama 2024.
Nilai ekspor besi dan baja mencapai US$18,33 miliar pada 2023; menurun 12,35% menjadi US$16,33 miliar pada 2024.
Kemudian nilai ekspor bahan bakar mineral sebesar US$14,97 miliar pada 2023; menurun 7,27% menjadi US$13,88 miliar pada 2024.
Terakhir nilai ekspor lemak dan minyak nabati mencapai US$6,07 miliar pada 2023; menurun 16,14% menjadi US$5,09 miliar pada 2024.
Sebagai catatan, notabenenya berat ekspor barang Indonesia ke China meningkat pada 2024 dibandingkan 2023. Total, berat ekspor ke Indonesia mencapai 264,35 juta ton pada 2023; naik 7,11% menjadi 283,14 juta ton pada 2024.
Penurunan nilai ekspor meski beratnya meningkatkan bisa terjadi karena sejumlah faktor seperti penurunan harga komoditas, perubahan kurs mata uang, hingga perjanjian. Artinya, dinamika perekonomian global sangat berpengaruh.