Bisnis.com, JAKARTA — Dunia usaha mengkhawatirkan potensi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantam industri tekstil dan garmen pada 2025 seiring dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 6,5% dan tarif PPN 12% pada awal Januari 2025.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) 2023–2028 Shinta Widjaja Kamdani mengakui PHK menjadi salah satu permasalahan yang akan menghampiri dunia usaha, terutama industri padat karya. Shinta menyebut industri ini semakin mengkhawatirkan.
“Potensi PHK ini yang menurut kami menjadi salah satu permasalahan dan tantangan utama yang mungkin harus menjadi perhatian,” kata Shinta dalam konferensi pers Outlook Perekonomian Apindo 2025, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Shinta juga menyoroti jumlah kelas menengah yang semakin menurun. Dia menuturkan jumlah penduduk kelas menengah yang turun semakin besar, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Padahal, ungkap dia, kelas menengah Indonesia berperan penting dalam mendongkrak konsumsi nasional.
Di samping itu, Shinta menyebut kondisi akan semakin serius seiring dengan langkah pemerintah yang akan menggulirkan tarif PPN 12% pada tahun depan. Untuk itu, ungkap dia, inkonsistensi kebijakan dari ketenagakerjaan harus menjadi perhatian.
Pasalnya, inkonsistensi kebijakan ketenagakerjaan berpotensi mengancam stabilitas investasi dan lapangan kerja di Indonesia dengan pergantian regulasi ketenagakerjaan dan kebijakan pengupahan yang kurang transparan seperti penetapan UMP 2025 yang dinaikkan sebesar 6,5% tanpa kejelasan dasar perhitungannya.
Baca Juga
“Ini semua yang sekarang banyak sekali terkena [PHK] adalah industri padat karya, karena kondisinya kurang baik terutama tekstil, garmen yang sudah mulai melakukan banyak sekali PHK,” ujarnya.
Shinta menuturkan bahwa pemerintah perlu memberikan PPh badan untuk membantu industri padat karya serta subsidi BPJS Ketenagakerjaan.
“Kami sudah memberikan usulan, PPh badan [untuk industri padat karya] dan BPJS Ketenagakerjaan itu sudah kami sudah berikan usulan karena kami tahu pemerintah mungkin sulit untuk mengubah karena ini sudah ditetapkan,” ujarnya.
Secara umum, Apindo memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan tumbuh di kisaran 4,9%—5,2% secara tahunan (year-on-year/yoy). Prediksi ini dengan melihat berbagai indikator, seperti kondisi lingkungan strategis global yang belum stabil dan inflasi global yang belum sepenuhnya terkendali.
Kemudian, berlanjutnya penurunan kelas menengah akibat tekanan kenaikan PPN pada barang-barang tertentu, potensi PHK akibat kenaikan UMP yang tidak diimbangi dengan produktivitas, hingga berakhirnya era boom commodity (windfall) dari komoditas minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan batubara.