Bisnis.com, JAKARTA - Hari-hari ini publik dikagetkan oleh kejadian tragis: peternak sapi perah membuang susu yang dihasilkan. Susu dibuang di sungai, disiramkan di lahan, dibuat mandi atau dibagi-bagi. Ini terjadi di Pasuruan, Jawa Timur, juga Boyolali, Jawa Tengah.
Langkah itu dilakukan peternak karena mereka frustrasi. Mereka tidak menemukan jalan keluar, seperti ada di jalan buntu. Ini terjadi karena industri pengolah susu (IPS) tidak mau menampung produksi peternak. Ada yang terang-terangan mengurangi serapan, ada pula yang berdalih dengan menerapkan persyaratan lebih ketat. Boleh jadi hal serupa terjadi di luar Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Menurut para peternak, sikap IPS dalam berelasi dengan peternak selama ini tidak konsisten. Ketika harga susu impor mahal, IPS mengejar-ngejar peternak agar berproduksi tinggi. Sebaliknya, ketika harga susu impor murah, IPS mengurangi serapan susu. Kejadian tragis ini terus berulang.
Sebagai penerima harga dan pihak lemah, peternak seringkali berada di posisi kalah. Ketergantungan yang tinggi ke IPS membuat peternak seolah tidak punya pilihan. Susu segar tidak tahan lama. Jika tidak segera diolah atau diserap IPS bakal basi. Data Gabungan Koperasi Susu Indonesia, setidaknya 200 ton susu per hari tidak terserap. Ini akar masalah yang berpuluh-puluh tahun tidak berubah: relasi peternak-IPS yang tidak seimbang.
Di masa lalu, relasi yang tidak seimbang itu dimediasi pemerintah. Negara hadir dengan mengatur rasio penyerapan susu segar dalam negeri (SSDN) dengan impor bagi IPS. Lewat surat keputusan bersama tiga menteri (Perdagangan dan Koperasi, Perindustrian, dan Pertanian), beleid dimulai pada 1982 dengan rasio penyerapan SSDN dengan impor antara 1:1,6—7. Artinya IPS bisa mengimpor 1,6 ton—7 ton bahan baku susu dengan menyerap 1 ton SSDN. Rasio bersifat dinamis, tergantung situasi. Ditambah skema kredit sapi perah, Inpres Nomor 2 Tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional dan pengembangan koperasi dunia sapi perah amat cerah. Populasi sapi perah dan produksi susu meningkat dan jumlah koperasi naik. Rasio impor susu dibanding SSDN menurun drastis.
Pada puncak keemasan, rasio impor susu dibandingkan dengan produksi SSDN mencapai 2:1 alias porsi impor hanya 50% (Rochadi, 2024). Namun, situasi cerah itu tidak berlangsung lama. Ketika krisis moneter menghajar pada 1997/1998 dan Indonesia menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF), tata niaga SSDN dihapuskan tepatnya Januari 1998.
Baca Juga
Sejak saat itu, wajib serap produksi SSDN tidak ada lagi. Pasar persusuan Indonesia masuk pasar bebas. Naik-turun harga susu di pasar dunia langsung ditransmisikan ke pasar domestik. Posisi IPS yang kuat membuat harga yang diterima peternak tidak seimbang dari biaya produksi (Budiyono, 2008). IPS bahkan bisa memaksa pemerintah menyubsidi dengan membayar bea masuk pada 2008.
Ketiadaan proteksi bagi peternak sapi perah diikuti penurunan porsi SSDN dari impor. Sejak saat itu porsi SSDN dari total kebutuhan susu antara 20%—23%. Produksi SSDN tahun ini diperkirakan 1 juta ton atau setara 21% dari total kebutuhan konsumsi 4,7 juta ton. Stagnasi dunia peternakan sapi perah juga tampak dari mayoritas (80-an persen) diusahakan peternak kecil dengan kepemilikan 2—5 ekor sapi, sebagai usaha sambilan keluarga, modal terbatas, lemah manajemen dan adopsi teknologi. Ujung dari kondisi ini adalah produktivitas sapi perah rakyat masih rendah: 12,4 liter/hari. Padahal, potensinya bisa lebih 20 liter/hari.
Tahun depan, pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memulai program makan bergizi gratis (MBG). Dengan anggaran Rp71 triliun akan menyasar sekitar 15 juta jiwa. Baik santri, siswa maupun ibu hamil dan menyusui. Selain menu makan, susu juga masuk dalam paket MBG. Jika program MBG berjalan penuh dengan sasaran 83 juta jiwa, dibutuhkan tambahan susu 3,6 juta ton. Jadi, ketika itu terjadi total kebutuhan susu (reguler dan MBG) mencapai 8,5 juta ton. Ini jumlah yang besar. Jika separuh bisa dipasok dari produksi domestik, akan memberikan dampak berganda luar biasa pada ekonomi lokal.
Akan tetapi, itu hanya bisa terwujud bila program MBG disinergikan dengan upaya serius mengungkit peternakan sapi perah rakyat yang sekarat. Serangkaian kebijakan perlu dirakit dan dipastikan dieksekusi dengan baik agar momentum tidak hilang.
Pertama, kembali memberlakukan wajib serap SSDN bagi IPS dengan rasio tertentu terhadap impor. Seperti di masa lalu, rasio dibuat dinamis agar fleksibel mengikuti dinamika pasar susu dunia. Kedua, wajib menggunakan SSDN minimal 20%—50% dalam program susu gratis. Di tahun pertama wajib SSDN 20% dan dinaikan bertahap seiring kenaikan produksi domestik.
Ketiga, meracik kebijakan persusuan dengan melibatkan peternak rakyat. Masing-masing IPS bisa diwajibkan jadi bapak angkat dan membina hingga berhasil. Pemerintah menyusun hak dan kewajiban, mengawasi, mengevaluasi, dan memperbaiki terus-menerus tanpa perlu menjadi pemain.