Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) atau proyek gasifikasi batu bara terus berlanjut di era Presiden Prabowo Subianto.
Hilirisasi batu bara sendiri saat ini masih jalan ditempat. Kendati, Bahlil pun menekankan pihaknya bakal terus mendorong hilirisasi.
"Itu salah satu program ke depan yang akan kita dorong sebagai bentuk hilirisasi daripada batu bara. Itu diupayakan terus," kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Senin (4/11/2024).
Dia pun menegaskan bahwa eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara [PKP2B] yang mendapatkan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), wajib menjalankan hilirisasi batu bara.
Kendati, Bahlil menyebut produk akhir hilirisasi batu bara tidak wajib berupa DME. DME sendiri selama ini ditargetkan bisa menjadi pengganti liquefied petroleum gas (LPG).
"Wajib hilirisasi, tapi tidak mesti DME," ucap Bahlil.
Baca Juga
Proyek gasifikasi batu baru belakangan mamang masih menghadapi sejumlah tantangan. Bahkan, dikabarkan ada pihak yang berusaha menjegal upaya pemerintah tersebut.
Dalam kesempatan terpisah, Bahlil menyebut sejumlah pihak bermain-main berupaya mencegah proyek gasifikasi batu bara menjadi DME untuk terealisasi.
Padahal, DME merupakan salah satu proyek penghiliran untuk menggantikan LPG, sekaligus menekan impor LPG Indonesia yang saat ini tercatat sebanyak 6 juta ton.
"Dulu Pak Presiden [Jokowi] sudah melakukan groundbreaking membuat DME untuk mengelola batu bara kalori rendah menjadi LPG tetapi saya tahu ada yang mencegat waktu saya menjadi menteri investasi," ujar Bahlil, dikutip (26/9/2024) lalu.
Setelah diangkat menjadi Menteri ESDM sejak Agustus 2024 lalu, dia pun mulai mengantisipasi dan tak segan melawan pihak yang bermain-main dengan proyek tersebut.
"Enggak boleh, kalau dulu saya kan sendiri toh, sekarang mohon maaf barang ini ada paten, patennya dikit ini barang," terangnya.
Pengembangan DME merupakan upaya untuk menyubtitusi LPG yang selama ini masih impor. Kementerian ESDM mencatat Indonesia masih mengimpor LPG hingga 6 juta ton per tahun dengan nilai US$3,45 miliar.
Bahkan, Indonesia harus mengeluarkan devisa yang signifikan untuk impor LPG, sekitar Rp450 triliun keluar setiap tahun untuk membeli minyak dan gas, termasuk LPG.
Kendati demikian, sejumlah proyek DME yang tengah digarap saat ini pun belum tampak membuahkan hasil nyata. proyek milik PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) hingga PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO) pun mandek.