Bisnis.com, JAKARTA - Pengetatan dan pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam waktu dekat dinilai akan semakin menggerus perekonomian Indonesia.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan bahwa kebijakan itu tidak tepat diterapkan di situasi ekonomi domestik saat ini yang tidak menudukung, yang ditandai dengan penurunan daya beli serta gelombang pemutusan hubngan kerja (PHK) yang meningkat.
“BBM itu vital untuk ekonomi, termasuk industri dan transportasi. Kalau saya melihat jika terjadi pengetatan subsidi saat ini memang tidak akan menaikkan inflasi namun dipastikan akan gerus pertumbuhan ekonomi dan tambah efek psikologi bertambah,” ujarnya dalam siaran Broadcash di kanal youtube Bisniscom.
Kondisi masyarakat saat ini menurutnya sedang tidak baik-baik saja. Hal ini terlihat pada penurunan jumlah tabungan masyarakat yang berada di bawah Rp100 juta. Saat ini, rerata uang yang berada pada tabungan masyarakat menengah ke bawah hanya sebesar Rp1,5 juta.
Dengan kondisi itu, kalau ada hentakan harga konsumsi akan berimplikasi makin dalam pada perekonomian.
“Momennya harus pas, tapi setidak jangan saat masyarakat sedang ekonominya lesu,” tukasnya.
Baca Juga
Saat ini, menurutnya isu yang diembuskan oleh pemerintah terbilang bagus yakni harga BBM bersubsidi tidak asal dipangkas tapi direalokasikan kepada pembangunan SDM termasuk program makan siang gratis, kesehatan, dan sebagainya.
“Kalau dikaitkan dengan konteks itu saya rasa masyarakat akan bisa menerima asal memang konkrit,” terangnya.
Menurut dia, narasi yang dikemukakan yakni subsidi harus tepat sasaran dan efektif, harus juga diimbangi dengan konsistensi pemerintah dari sisi kelembagaan. Wacana kabinet gemuk di mana aka nada penambahan sejumlah badan atau kementerian baru menurutnya akan kotraproduktif terhadap wacana efisiensi dan efektifitas subsidi BBM.
“Nanti masyarakat akan bingung misalkan wacana yang mencuat kementerian diperbanyak. Hal ini tercermin dari APBN 2025, belanja pelayanan umum, jumlahnya Rp800-an triliun. Kalau kementerian tetap mau diperlebar kemudian menarasikan efektifitas tepat sasaran penyaluran BBM, ini dua hal yang kontradiktif,” terangnya.
Jadi, lanjutnya, pemerintahan harus dibikin efektif yang mencerminkan bekerja dengan taktis. Dengan demikian, maka masyarakat akan memberikan dukungan.
Persoalan Data
Terkait pengalihan subsidi menjadi bantuan langsung tunai (BLT), menurutnya semua itu tergantung pada data yang presisi. BLT, tuturnya, jadi suatu isu besar kalau datanya tidak tepat sehingga akan melahirkan politisasi.
“Kalau datanya kurang presisi maka akan terjadi protes, Mampukah pemerintah membuat data BLT jadi valid?" kata dia.
Menurutnya, jika hanya disalurkan kepada masyarakat miskin yang berjumlah 26 juta jiwa, tentu akan memberikan implikasi akan terhadap pekonomian di mana ada masyarakat yang sebenarnya tidak miskin, namun rentan miskin, yang akan terjerembab dan tidak mendapatkan BLT jika kebijakan pengetatan subsidi terjadi.
Setidaknya ada 130 juta masyarakat kelas menengah yang rentan miskin atau sering disebut aspiring middle class. Menurut Eko, kalau BLT tidak menyentuh level ini, dia khawatir pengetatan subsidi BBM berimplikasi pada aktivitas ekonomi kelompok tersebut.
“Kalau diperlebar ke kelompok itu seberapa jauh juga. Waktu Covid bantuan juga merambah kelas menengah ini,” pungkasnya.