Bisnis.com, JAKARTA — Adanya usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar cukai rokok naik 5% pada tahun depan menandai dimulainya proses sengit pembahasan tarif cukai hasil tembakau atau CHT. Usulan DPR sejatinya lebih rendah dari kenaikan cukai rokok sebelumnya, tetapi putusan akhir berpeluang ada di tangan pemerintahan Prabowo Subianto nanti.
Setelah melalui berbagai rapat dan negosiasi, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR sepakat untuk mengusulkan kenaikan cukai rokok minimal 5% setiap tahun untuk 2025—2026. Usulan itu bersifat multiyears, artinya kenaikan cukai rokok ditentukan sekaligus untuk lebih dari satu tahun.
"BAKN mendorong pemerintah untuk menaikkan Cukai Hasil Tembakau jenis Sigaret Putih Mesin [SPM] dan Sigaret Kretek Mesin [SKM] minimun 5% setiap tahun untuk dua tahun ke depan," ujar Ketua BAKN DPR Wahyu Sanjaya, Selasa (10/9/2024).
Wahyu menyebutkan bahwa usulan kenaikan tarif tersebut dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari CHT. Kenaikan yang lebih rendah dari kenaikan tarif cukai dalam dua tahun terakhir ini berdasarkan pertimbangan industri tembakau.
"Ini dalam rangka membatasi kenaikan Cukai Hasil Tembakau pada jenis Sigaret Kretek Tangan [SKT] untuk mendorong penambahan penyerapan tenaga kerja," jelasnya.
Usulan BAKN DPR itu terbilang lebih rendah dari kenaikan cukai rokok sebelumnya, yang juga berlaku multiyears pada 2023—2024.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 191/2022, tarif cukai rokok atau CHT pada 2023—2024 naik rata-rata 10%. Sementara itu, untuk jenis sigaret kretek tangan (SKT), tarif cukainya naik maksimal 5% setiap tahun.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa usulan kenaikan cukai rokok minimal 5% menurutnya telah cukup mengakomodasi semua aspek dalam kebijakan CHT—meskipun kenaikan tarifnya lebih rendah dari dua tahun lalu.
"Normalnya, kenaikan tarif CHT kisaran kurang lebih 10%. Namun, dua tahun terakhir yang terjadi malah penerimaan CHT turun. Beban cukainya sudah tinggi," ujar Fajry, dikutip pada Jumat (13/9/2024).
Menurutnya, penentuan cukai rokok sangat kompleks karena maraknya rokok ilegal sebagai subtitusi. Pasalnya, jika pemerintah menaikan tarif terlalu tinggi, bukan penerimaan yang didapat malah penurunan.
Tujuan pemerintah untuk mengendalikan dan menurunkan konsumsi rokok pun tidak tercapai karena terjadinya downtrading atau shifting dari rokok golongan atas ke golongan yang lebih rendah bahkan ke rokok ilegal.
Pada 2022 lalu, penentuan kenaikan tarif CHT multiyears jatuh pada bulan November, dengan kenaikan cukai berlaku mulai 1 Januari 2023. Jeda waktu terbitnya aturan dan implementasinya biasanya menjadi ruang bagi industri untuk memborong pita cukai bertarif lama, sebelum berlaku pita cukai teranyar saat tahun baru.
Pembahasan tarif cukai rokok kemungkinan akan bergulir hingga berjalannya pemerintahan baru Prabowo-Gibran, yang mulai menjabat pada 20 Oktober 2024.
Artinya, tarif cukai rokok baru berpeluang diketok palu oleh pemerintahan Prabowo Subianto.
Petani Tolak Cukai Rokok Naik, Pengusaha Tolak PP Kesehatan
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Indonesia merupakan negara yang memproduksi tembakau terbesar ke-4 di dunia. Pada 2022 Indonesia menghasilkan tembakau sebanyak 225.579 ton.
Namun demikian, keberlangsungan petani tembakau dan industri hasil tembakau (IHT) ada dalam posisi sulit, karena pemerintah dan publik berupaya untuk menekan prevalensi merokok demi kesehatan masyarakat.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Agus Parmuji mengatakan petani tembakau masih kecewa dengan dampak kenaikan cukai setiap tahun yang membuat penyerapan tembakau lokal turun.
"Sampai saat ini kami petani tembakau masih belum merasakan ada niat baik dari pemerintah pusat untuk melindungi hak keberlangsungan masa depan petani tembakau," kata Agus, Rabu (11/9/2024).
Apalagi, Agus menuturkan bahwa saat ini harga tembakau tengah mengalami penurunan yang disebabkan iklim cuaca yang memengaruhi kualitas tembakau. Sementara itu, penyerapan tembakau dari industri tengah melemah yang dipengaruhi kenaikan cukai.
Dia memberi contoh harga tembakau di Bojonegoro tahun lalu ketika panen bagus mencapai Rp55.000 per kilogram. Namun, saat ini harga tembakau mengalami penurunan 5%—10% menjadi Rp50.000 per kilogram.
"Kami petani tembakau hampir 99% menggantungkan hidup penjualan kami ke industri ke pabrik rokok, jika penjualan mengalami penurunan, pabrik tutup, kami mau jual kemana?" tuturnya.
Selain cukai rokok, petani dan industri juga disebut menghadapi tekanan baru dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2024 tentang Kesehatan, khususnya Pengamanan Zat Adiktif dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Nayoan, mengatakan kebijakan tersebut hanya akan membuat rokok ilegal makin menjamur jika regulasi yang diterapkan justru menekan industri formal.
Terlebih, dalam RPMK terdapat ketentuan mengenai standarisasi kemasan atau kemasan polos (plain packaging), yang tidak sejalan dengan dan melampaui mandat pengaturan standarisasi di PP No.28 untuk produk tembakau dan rokok elektronik.
"Kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang bukanlah solusi efektif untuk menurunkan prevalensi merokok, tetapi hanya akan membuka jalan bagi produk ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai," jelas Henry.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bersama 20 asosiasi lintas sektor IHT juga menyampaikan sikap serupa, yakni menolak PP Kesehatan karena dinilai membatasi ruang pertumbuhan industri, sekaligus mengancam keberlanjutan usaha.
Wakil Ketua Umum Apindo Franky Sibarani mengatakan, pihaknya akan mengirimkan petisi penolakan regulasi tersebut ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan presiden terpilih Prabowo Subianto dalam waktu dekat.
"Kita akan bersama-sama mengirimkan petisi ini, bersama surat kepada Presiden Joko Widodo dan presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menghentikan atau menyetop pemberlakuan PP 28/2024," kata Franky di Kantor Apindo, Rabu (11/9/2024).