Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O) mengungkapkan sejumlah tantangan dalam membangun kemandirian industri bahan baku obat dalam negeri. Di antaranya berkaitan dengan daya saing dengan produk impor dan skala ekonomi yang masih terbatas.
Ketua Umum Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O), FX Sudirman mengatakan industri bahan baku obat merupakan industri yang baru berkembang dan belum memiliki kemampuan untuk bersaing dengan industri yang lebih matang, terutama pemain global.
"Tantangannya terbesar competitiveness. Karena di Indonesia baru, economic scale-nya terbatas. Mungkin kalau yang bahan baku obat ya, mungkin akan lebih mahal," kata Sudirman saat ditemui Bisnis, Selasa (10/9/2024).
Hal ini senada dengan laporan dari Kementerian Kesehatan yang menyebut bahwa harga bahan baku obat produksi dalam negeri lebih tinggi dari impor. Alhasil, harga produk menjadi lebih mahal, terutama produk yang mengandung komponen bahan baku lebih dari 50%.
Dalam catatan AB3O, dari total 1.105 bahan baku obat, industri nasional baru mampu memproduksi 62 bahan baku obat. Untuk dapat meningkatkan kemampuan produsen, pemerintah perlu turun tangan dari sisi pengembangan hingga perluasan skala ekonomi.
Langkah yang dapat didorong yakni mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku lokal untuk industri obat nasional. Dia mencontohkan kondisi India dan China dengan potensi domestik yang besar sehingga mendorong produksi dalam skala besar, sekaligus ekspansi ke pasar global.
Baca Juga
"Mungkin perlu dukungan pemerintah supaya industri obat atau industri farmasi yang ada di dalam negeri itu mau pakai. Supaya mereka hidup," ujarnya.
Salah satu contoh nya seperti pemerintah India yang memberikan subsidi sehingga harga jual lebih terjangkau. Dalam jangka pendek, pengembangan industri bahan baku obat cukup mahal, namun hal ini diperlukan untuk jangka panjang demi kemandirian farmasi nasional.
Di sisi lain, dia mengapresiasi pemerintah yang sudah memberikan beberapa insentif seperti program dari Kementerian Kesehatan yaitu change source atau penggantian bahan baku impor yang dibayar pemerintah.
Tak hanya itu, stimulus lain yang diberikan pemerintah yaitu fasilitas uji klinik, dari sisi fiskal diberikan tax holiday, tax deduction, dan lainnya.
"Kemudian banyak insentif-insentif yang lain. Tapi mungkin karena syaratnya masih banyak, masih ribet. Mungkin nggak banyak yang bisa manfaatkan," pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kemenperin Eko S. Cahyanto mengatakan insentif akan digelontorkan untuk industri hulu, khususnya petrokimia untuk memproduksi bahan baku obat.
"Itu yang sekarang kita dorong ke sana. Ini kan industri pionir, kita akan memberikan insentif yang besar untuk itu. Ditambah perlu ada SDM di sana. Ini kan investasi besar sekali, investasi mahal sekali dan dia harus masuk skala ekonominya. Makanya harus diperhitungkan betul terkait dengan pasarnya," terangnya.
Untuk itu, Kemenperin mendorong perluasan pasar hingga regional sehingga skala produksi lebih besar dan efisien di sisi hilir. "Jadi semakin efisien di hulu, hilirnya juga akan ikut efisien. Menyangkut harga nanti kan sangat penting, apalagi sekarang ini," pungkasnya.