Bisnis.com, JAKARTA - Industri farmasi nasional masih dilanda polemik harga obat yang mahal. Hal ini lantaran bahan baku obat (BBO) yang disebut 90% masih ketergantungan impor hingga kapasitas produksi industri dalam negeri yang belum memadai.
Sekretariat Direktorat Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Kris Sasono Ngudi Wibowo mengatakan, industri dalam negeri terus berupaya mengembangkan bahan baku obat mandiri. Namun, kebutuhan nasional tak sepenuhnya bisa dipasok dalam negeri.
"Kalau dilihat saat ini impor bahan baku masih banyak dan kemampuan kita untuk kembali menyiapkan alternatif untuk bahan baku obat juga kapasitasnya belum terlalu besar," kata Kris saat ditemui Bisnis, dikutip Senin (9/9/2024).
Kris menyebut, terdapat belasan bahan baku obat yang sudah berhasil dibuat oleh produsen lokal. Jika merujuk pada catatan Kementerian Kesehatan, saat ini baru 10 BBO yang diproduksi lokal seperti Paracetamol, Omeprazol, Amlodipin, Bisoprolol, Atorvastatin, dan lainnya.
Selama ini, obat yang seringkali dikeluhkan mahal kebanyakan merupakan jenis obat paten yang selama ini masih diimpor. Sementara itu, obat generik kebanyakan sudah diizinkan untuk diproduksi luas, termasuk oleh produsen Indonesia.
"Sudah banyak [produsen lokal] kemarin sudah ada beberapa yang masuk, justru mereka sekarang produsen bahan baku obat ini, di obat jadinya itu ingin threshold TKDN-nya dinaikkan," ujar Kris.
Baca Juga
Produsen bahan baku lokal sudah banyak yang menggunakan molekul BBO dan vaksin dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di atas 52%. Namun, pemerintah masih menggunakan Peraturan Presiden No 12/2021 untuk tender penggungaan obat dalam negeri dengan TKDN 25%.
Apabila threshold atau standar TKDN obat dinaikkan untuk Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), dia meyakini serapan BBO lokal akan terungkit dan kapasitas produksi semakin diperluas.
"Supaya dia bisa masuk ke BPJS, daftar obat BPJS sehingga dia yang dibeli kalau menggunakan bahan baku lokal, BBO, BBO lokal, itu sudah pasti di atas 50%," tuturnya.
Lebih lanjut, Kris tak memungkiri masih ada hambatan lain produksi BBO lokal, yakni standar pembuatan yang ketat, subtitusi impor BBO dengan produk yang ada dalam negeri, hingga research & development (R&D) yang harus masif dilakukan.
"Teknologi tinggi itu butuh untuk bahan baku, dia [produsen] bisa nggak mengembangkan dari bahan baku lokal menjadi produk obat. Gimana dia bisa menyerap bahan baku lokal, misalkan bahan baku apa yang diadopt dari lokal, kemudian dia diimplementasikan ke obatnya sendiri," pungkasnya.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mendorong produsen farmasi untuk memaksimalkan pemanfaatan 10 bahan baku lokal yang sudah bisa diproduksi dalam negeri. Hal ini dapat memangkas nilai impor hingga nyaris 20% dalam 3 tahun terakhir.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI (Dirjen Farmalkes) Rizka Andaluasi mengatakan, 10 bahan baku obat lokal tersebut harus segera diserap oleh industri farmasi saat ini.
"Dalam 3 tahun kami menghitung dari 2022, dalam 3 tahun itu akan menurunkan nilai impor sebesar 19,42% atau kalau dalam rupiahnya dari Rp14 triliun menjadi Rp7,3 triliun," kata Rizka.
Dalam hal ini, Kemenkes telah memfasilitasi change source bagi 42 industri farmasi dengan tujuan peningkatan pemanfaatan BBO lokal sehingga nilai ekonomis bahan baku dapat tercapai.