Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kantong Makin Tipis, Kelas Menengah RI Lebih Suka Beli Barang Murah

Uang yang dipegang masyarakat kelas menengah semakin sedikit, sehingga cenderung untuk memberi barang dengan harga yang lebih murah.
Pengunjung melintas di salah satu pusat perbelanjaan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bisnis/Abdurachman
Pengunjung melintas di salah satu pusat perbelanjaan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyebut penurunan daya beli masyarakat kelas menengah telah membuat pola belanja di kelompok ini mengalami perubahan.

Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja menyampaikan penurunan daya beli yang telah terjadi usai Idulfitri 2024 ini dikarenakan uang yang dipegang semakin sedikit. Akibatnya, pola belanja masyarakat kelas menengah bawah saat ini cenderung untuk memberi barang dengan harga yang lebih murah.

“Dikarenakan uang yang dipegang semakin sedikit, saat ini pola belanja masyarakat kelas menengah bawah cenderung untuk membeli barang ataupun produk dengan nilai/harga satuan yang lebih kecil,” kata Alphonzus kepada Bisnis, dikutip Minggu (8/9/2024).

Pola belanja ini, lanjutnya, menjadi salah satu biang kerok kian maraknya barang impor ilegal, mengingat harganya yang sangat murah lantaran tidak membayar berbagai pungutan dan pajak sebagaimana mestinya.

Alphonzus memperkirakan pola tersebut akan terus terjadi hingga akhir 2024 sehingga pertumbuhan industri ritel sepanjang tahun ini juga diproyeksi hanya akan single digit saja.

Kendati begitu, dia mengharapkan agar terjadi perbaikan di 2025 mengingat pemerintah baru mematok target pertumbuhan ekonomi yang cukup agresif yakni 8%, dibanding tahun-tahun sebelumnya. 

Di sisi lain, Alphonzus meminta pemerintah untuk sementara waktu tidak membuat kebijakan yang berpotensi menambah beban masyarakat, utamanya kalangan menengah bawah, yang kian melemahkan daya beli masyarakat.

Selain itu, dia juga mengharapkan agar pemerintah menunda rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Pasalnya, aturan ini dinilai menjadi salah satu faktor yang berpotensi memperlemah daya beli masyarakat kelompok menengah bawah. “Sebaiknya rencana tersebut ditunda sementara waktu sampai dengan kondisi telah menjadi lebih baik,” pungkasnya. 

Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini mengungkapkan, sekitar 9,4 juta penduduk kelas menengah turun kasta ke kelompok aspiring middle class selama 2019 sampai dengan 2024.

Pada 2019, Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan tercatat ada 57,33 juta kelas menengah atau 21,45% dari total penduduk Indonesia. Kini pada 2024, jumlah kelas menengah menjadi 47,85 juta atau 17,13% dari total penduduk Indonesia.

Dia menuturkan, kategori kelas menengah adalah penduduk dengan konsumsi per kapita 3,5-17 kali garis kemiskinan. Dalam konteks Indonesia pada 2024, yang masuk kategori kelas menengah adalah penduduk yang pengeluarannya Rp2.040.262-Rp9.909.844 per bulan.

Menurutnya, kondisi ini disebabkan oleh efek pandemi Covid-19. “Kami mengidentifikasi masih ada scaring effect dari pandemi Covid-19 terhadap ketahanan kelas menengah,” ujar Amalia dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (28/8/2024).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper