Bisnis.com, JAKARTA — Wacana formulasi ulang perhitungan anggaran pendidikan kembali mencuat. Pemerintah dan DPR satu suara, ingin mandatory spending pendidikan tidak lagi mengacu pada belanja negara, melainkan pada pendapatan negara—yang nilainya lebih kecil.
Pendidikan merupakan salah satu hak mendasar yang melekat pada manusia, bersama dengan hak untuk hidup, berkeluarga, hingga hak untuk berkomunikasi. Dalam konstitusi Indonesia, hak untuk mendapatkan pendidikan diatur dalam hukum tertinggi ketatanegaraan, yakni Undang-Undang Dasar atau UUD 1945.
Ketentuan pendidikan tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945, yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar. Pemerintah pun wajib membiayai pendidikan dasar itu.
UUD 1945 juga mengharuskan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal itu pun mengatur bahwa pemerintah harus mengalokasikan dan memprioritaskan anggaran pendidikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
"Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan negara dan daerah," tertulis dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, dikutip pada Kamis (5/9/2024).
Baca Juga
Sri Mulyani Indrawati memang telah menjadi Menteri Keuangan lebih dari 10 tahun, yakni pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo, tetapi dia masih mempertanyakan pengalokasian anggaran pendidikan itu.
Sejauh ini pemerintah menggunakan nilai total belanja negara sebagai acuan dalam menentukan mandatory spending 20% untuk anggaran pendidikan. Namun demikian, menurut Sri Mulyani, hal itu menimbulkan volatilitas karena total belanja negara bisa naik-turun cukup besar, sehingga anggaran pendidikan pun harus mengikutinya—demi disiplin porsi 20%.
Misalnya, pada 2022 total belanja negara melonjak karena belanja subsidi naik pesat dari Rp350 triliun menjadi Rp550 triliun. Alhasil, alokasi anggaran pendidikan pun harus naik.
"Anggaran [pendidikan] 20% dari belanja. Dalam belanja itu banyak ketidakpastian, anggaran pendidikan jadi koclak, jadi naik turun. Saya juga mempertanyakan, sebetulnya pengalokasian anggaran pendidikan seperti apa," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR, Rabu (4/9/2024).
Lonjakan alokasi anggaran pendidikan menghadapi persoalan lain, yakni serapan dana yang tidak maksimal. Misalnya, pada 2023 realisasi anggaran pendidikan hanya Rp513,38 triliun atau 82,6% dari pagu Rp621,28 triliun.
Secara keseluruhan, realisasi 2023 itu hanya 16,45% dari belanja negara, tidak mencapai mandatory spending 20%. Hal sama pun terjadi pada 2022, ketika belanja subsidi melonjak pemerintah tidak mampu merealisasikan 'tambahan' alokasi anggaran pendidikan hanya dalam empat bulan.
Sri Mulyani pun buka suara, yakni jika perhitungan mandatory spending pendidikan 20% bukan mengacu pada belanja, melainkan pendapatan negara.
"Maka, kami sudah membahasnya, ini caranya mengelola APBN tetap patuh dengan konstitusi, di mana 20% setiap pendapatan kita untuk [anggaran] pendidikan," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani berpendapat pemerintah bersama DPR perlu membahas ulang definisi anggaran pendidikan, terutama sumber untuk menghitung mandat 20%.
"Kami akan mengusulkan agar bendahara negara ke depan tetap menjaga APBN sustainable dan kredibel, tetapi juga tetap memenuhi kebutuhan pembangunan dan patuh dalam konstitusi. Ini yang akan kami usulkan dalam Panja [panitia kerja DPR] perundang-undangan APBN," tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Badan Anggaran (Banggar DPR) dari Fraksi PDI-Perjuangan Said Abdullah seketika menyutujui usulan Sri Mulyani tersebut.
Bila mana perlu memaknai anggaran pendidikan dan apa yang diinginkan oleh konstitusi, perlu dilakukan revisi undang-undang.
"Maka Banggar selanjutnya nanti akan mengambil peran untuk bersurat kepada DPR, agar DPR meneruskan ke Baleg untuk melakukan revisi undang-undang pendidikan," ujar Said.
Bukan Usulan Baru, Masih Berkutat di Persoalan Lama
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa bercerita bahwa ketika dirinya sedang menjabat anggota DPR, yakni pada 2007—2008, sudah terdapat usulan kepada pemerintah untuk mendefinisikan mandatory spending pendidikan sebagai alokasi 20% dari pendapatan negara.
Menurut Suharso, usulan itu mendapatkan protes dari berbagai unsur, baik para guru besar di kampus hingga Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Seperti halnya Sri Mulyani, Suharso kala itu menggunakan analogi yang sama, bahwa belanja negara akan naik turun tergantung kondisi. Dia mencontohkan saat itu dengan kenaikan belanja bunga, yang membuat alokasi 20% anggaran pendidikan turut naik.
"Sekarang [APBN] kita ini cenderung makin besar, tapi besar itu selamanya dia defisit. Jadi kalau defisit 2%, maka 20% dari 2% itu harus didedikasikan untuk pendidikan. Jadi paling benar diambil dari penerimaan. Itu pendapat saya dulu pada 2007 dan menterinya [saat itu] adalah Sri Mulyani," ujar Suharso.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai bahwa mandatory spending merupakan salah satu cara untuk memastikan keberlanjutan anggaran pendidikan yang beriorientasi jangka panjang. Anggaran pendidikan tidak akan terlalu terpengaruh oleh kepentingan politis jangka pendek karena sudah 'terkunci' oleh undang-undang.
Selain itu, mandatory spending pun berkaitan dengan kebijakan afirmatif di bidang pendidikan yang perlu dukungan anggaran. Semakin besar kapasitas APBN maka semakin besar pula anggaran pendidikan untuk mendukung kebijakan itu.
"Jadi, fungsi mandatory spending itu untuk dana BOS [bantuan operasional sekolah], untuk menaikkan gaji guru honorer milsanya, untuk infrastruktur sekolah. Nah, ini saya rasa kalau mau diutak-atik enggak tepat," ujar Bhima kepada Bisnis, Rabu (4/9/2024).
Bhima menilai bahwa penggunaan anggaran pendidikan memang banyak yang tidak tepat sasaran, lalu terjadi korupsi juga di dunia pendidikan. Namun demikian, bukan berarti tidak dibutuhkan anggaran pendidikan yang besar, melainkan perlunya kontrol atas efektivitas program dan di sana pemerintah jangan mencampur adukannya.
"Mereka bilang 'oh programnya enggak efektif, kalau begitu anggarannya dipangkas' jadi enggak perlu mandatory spending. Oke, sekarang kalau dipangkas, ini duitnya buat apa? Buat program lain yang enggak nyambung dengan output pendidikan. Itu repotnya begitu," ujar Bhima.
Acuan mandatory spending terhadap belanja negara menurut Bhima sudah menjadi hal yang tepat, karena akan menunjukkan kualitas belanja pemerintah dan ke mana arah program negara.
Bhima khawatir bahwa jika mandatory spending mengacu pada pendapatan negara, maka akan terjadi pengurangan anggaran pendidikan.
Apabila menggunakan perhitungan sederhana, anggaran pendidikan 2024 yang mengacu pada belanja negara adalah Rp665 triliun. Namun, apabila mandatory spending mengacu pada penerimaan negara senilai Rp2.802,3 triliun, maka anggaran pendidikan menjadi sekitar Rp560,4 triliun.
Desain APBN yang defisit membuat penerimaan akan selalu lebih kecil dari belanja negara. Reformulasi mandatory spending pendidikan dapat berakibat porsi anggaran yang menjadi lebih kecil.
"[Apabila terdapat reformulasi mandatory spending], maka akan bergantung pada tiap pemerintahan, kalau mereka punya agenda lain di luar pembangunan sumber daya manusia, ya khawatir akan kalah terus biaya pendidikan. Dalam beberapa kasus, misalnya untuk mendanai infrastruktur yang butuh dana besar, mereka akan memangkas dana pendidikan, dan ini bagi sekolah juga sekolah dinas ya, ini menciptakan ketidakpastian sebenarnya.
Bhima pun merasa bahwa munculnya kembali pembahasan reformulasi mandatory spending pendidikan bukan semata-mata pertimbangan teknokratis, melainkan demi menyiapkan ruang fiskal untuk pemerintahan baru.
"Menurut saya sih harus lebih hati-hati lah karena ini kan investasi jangka panjang untuk SDM. Jadi maksudnya, jangan karena yang short term belanja populis itu mengalahkan prioritas yang jangka panjang. Padahal kan sekarang PISA kita jelek ya kan? Skor matematika, skor bahasa, macam-macam itu jelek. Belanja riset kita terhadap PDB juga kecil sekali," ujar Bhima.
Cadangan Anggaran Pendidikan Dipakai Biayai Program Prabowo
Sri Mulyani mengungkap bahwa pemerintah telah melakukan formulasi ulang pada komposisi belanja kementerian/lembaga, yakni agar terdapat alokasi Rp113 triliun untuk program Quick Win dari Prabowo-Gibran, atau janji-janji kampanye pasangan presiden-wakil presiden terpilih itu.
Realokasi anggaran dilakukan agar total belanja negara tetap senilai Rp3.621,31 triliun seperti dalam Rancangan APBN 2025 dan program-program Prabowo dapat tetap dilaksanakan. Salah satu pos yang terkena realokasi adalah cadangan anggaran pendidikan.
"Ini diambil dari belanja nonK/L yaitu dari berbagai cadangan. Cadangan Belanja Negara turun Rp28,39 triliun dan Cadangan Anggaran Pendidikan turun Rp66,85 triliun, Cadangan TKD [transfer ke daerah] turun Rp14,38 triliun," ujar Sri Mulyani.
Anggaran untuk program-program kampanye milik Prabowo-Gibran tersebut akan masuk dalam pos Belanja Pemerintah Pusat (BPP) untuk belanja K/L.
Komposisi belanja K/L mengalami kenaikan dari Rp976,79 (RAPBN 2025) menjadi Rp1.094,66 triliun dalam postur sementara APBN 2025 atau naik Rp117,87 triliun.
Adapun, kenaikan belanja K/L tersebut tidak seluruhnya untuk belanja program prioritas Prabowo. Program Quick Win akan menghabiskan Rp113 triliun, sementara sisa Rp4,87 triliun akan disiapkan untuk tambahan anggaran bagi DPR/MPR.
"Kita memberikan tambahan belanja untuk lembaga-lembaga tinggi negara. Untuk DPR MPR, adanya penambahan anggota dan pimpinan kita antisipasi, jadi kita sudah masukan di situ," tutur Sri Mulyani.
Secara garis besar, usulan Quick Win itu terdiri dari empat program. Namun, apabila dihitung dengan turunannya, terdapat enam program yang akan dijalankan oleh tujuh K/L.
Terbesar, terdapat program Makan Bergizi Gratis atau makan siang gratis yang akan dijalankan oleh Badan Gizi Nasional. Pemberian makan siang kepada ibu hamil, ibu menyusui, balita, dan siswa di seluruh jenjang pendidikan itu menelan anggaran Rp71 triliun. (Wibi Pangestu Pratama)