Bisnis.com, JAKARTA - Akhir-akhir ini kalangan pelaku pasar keuangan global dilanda kepanikan, dipicu oleh melemahnya berbagai indikator ekonomi Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi “kiblat” pelaku pasar global.
Dalam sepekan terakhir, pasar keuangan global diperdagangkan dengan sentimen risk-off menyusul laporan pekerjaan terkini. Dilaporkan adanya pelemahan yang signifikan di pasar tenaga kerja AS dan investor sekarang bergulat dengan dua pertanyaan utama.
Pertama, apakah kelemahan ekonomi baru-baru ini mengarah ke pendaratan lunak (soft landing) atau spiral ke bawah menuju resesi? Kedua, jika jawabannya adalah ya, apakah pemotongan suku bunga acuan harus segera dilakukan agar The Fed tidak dinilai terlambat?
Dalam mode risk-off konvensional, nilai ekuitas turun —terutama sektor teknologi—dan imbal hasil US Treasury (obligasi pemerintah AS) lebih rendah dari yang diekspektasikan. Terpantau nilai ekuitas lebih rendah di seluruh AS, Eropa, dan Asia.
Di bursa saham New York selama perdagangan 5 Agustus 2024 lalu memperlihatkan ketiga indeks utama ditutup dengan kerugian signifikan. Indeks Dow Jones turun 1.000 poin dan indeks S&P 500 tergelincir 3,2%, menjadi hari terburuk sejak 2022, di tengah aksi jual pasar global yang berpusat di sekitar kekhawatiran resesi AS.
Di pasar ekuitas Jepang, yang relatif lebih siklikal dan didorong oleh konsumen, ditutup melemah 12%, menjadi kinerja satu hari terburuk sejak 2008. Indeks saham utama Jepang Nikkei 225 mengalami penurunan dramatis lebih dari 12%, menandai hari perdagangan terburuk sejak kejatuhan Black Monday 1987. Di bursa Eropa, indeks anjlok 2,8%.
Baca Juga
Penurunan indeks bursa yang signifikan tersebut mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas tentang ekonomi global dan telah berkontribusi pada gejolak pasar secara keseluruhan.
Para analis keuangan mengatakan bahwa ini adalah indikator bahwa resesi, jika bukan depresi, mungkin akan terjadi. Sepekan lalu, ekonom Goldman Sachs telah meningkatkan kemungkinan resesi AS dari 15% menjadi 25% di tahun mendatang.
PASAR TENAGA KERJA
Laporan pasar tenaga kerja AS pada hari Jumat (2/8/2024) lebih lemah secara keseluruhan. Pelaku pasar fokus pada lonjakan tingkat pengangguran menjadi 4,3% (di atas ekspektasi yang 4,1%), atau naik signifikan dari posisi terendah sebelumnya yang 3,4%.
Terdapat indikator yang disebut “aturan Sahm”, yang menunjukkan bahwa resesi biasanya mengikuti peningkatan tingkat pengangguran. Data AS yang lemah lainnya, seperti dirilis oleh Institute for Supply Management (ISM) di mana indeks manufaktur berada di 46,8 versus 48,8 yang diperkirakan pada 1 Agustus lalu, berkontribusi pada kekhawatiran perlambatan pertumbuhan.
Terkonfirmasi, Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) melaporkan ekonomi AS menambahkan 114.000 pekerjaan pada Juli 2024, atau melambat tajam dibandingkan Juni yang menambahkan 179.000 pekerjaan. Alhasil, tingkat pengangguran naik menjadi 4,3% pada Juli dari 4,1% pada Juni, level tertinggi sejak Oktober 2021, menandakan pasar tenaga kerja terus mendingin.
Apalagi rata-rata pendapatan per jam yang naik 0,2% dinilai lebih lemah dari bulan ke bulan (MtM) atau hanya naik 3,6% dari tahun ke tahun (YoY), mencerminkan tekanan inflasi yang mereda. Laporan pekerjaan pada Juli tersebut menegaskan bahwa pasar tenaga kerja sedang bergerak moderat, membuat penurunan suku bunga acuan pada September semakin mungkin terjadi.
Dari sisi industri, pertumbuhan pekerjaan sebagian besar berbasis luas pada Juli, dengan sektor perawatan kesehatan (+55.000), konstruksi (+25.000) serta transportasi dan pergudangan (+14.000) menjadi menyumbang terbesar besar dari total tambahan pekerjaan.
Pekerjaan di sektor perawatan kesehatan didorong oleh kenaikan yang kuat dalam layanan perawatan kesehatan di rumah dan fasilitas perawatan residensial. Di sektor konstruksi, para kontraktor terus meningkatkan pekerjaan konstruksi. Sementara peningkatan pekerjaan di sektor transportasi terpacu oleh terjaganya sektor pengiriman barang (jasa kurir).
Secara menyeluruh, lapangan kerja sektor swasta meningkat sebesar 97.000 pekerjaan, merupakan laju pertumbuhan pekerjaan paling lambat sejak Maret 2023. Sementara itu, pekerjaan di sektor pemerintah sedikit berubah (+17.000) karena terus melambat dari level tertinggi pada 2023 dan awal 2024.
Alhasil, laporan pekerjaan yang lebih lemah dari perkiraan memicu kehancuran pasar. Dari data ketenagakerjaan yang buruk itu, diyakini akan menjadi “pertimbangan utama” Federal Reserve untuk mengambil ancang-ancang melonggarkan kebijakan suku bunga acuan pada pertemuan September nanti.
Kebijakan suku bunga acuan tidak semata hanya untuk melandaikan inflasi menuju target sasaran yang 2%, tetapi juga untuk menstimulasi perekonomian sehingga serapan terhadap tenaga kerja membesar.
Para ekonom dan pelaku pasar keuangan meyakini bahwa saat ini The Fed “berada di belakang kurva” (behind the curve) dalam memangkas suku bunga acuan. Pelaku pasar memperkirakan pemotongan sebesar 50 basis poin, bukan 25 basis poin, untuk menahan proses pendaratan lunak perekonomian AS.
Penurunan suku bunga kebijakan lebih cepat di kawasan Eropa (oleh Bank Sentral Eropa atau ECB) dan terakhir oleh Bank of England di Inggris, juga bisa menjadi referensi bagi pengambil kebijakan The Fed bahwa “waktunya sudah makin dekat” untuk melonggarkan kebijakan untuk menahan tekanan ke pasar tenaga kerja makin meluas dan memburuk.
Pemotongan suku bunga acuan dalam waktu dekat oleh The Fed juga menjadi sangat mungkin ketika dari pelaku pasar dihadapkan pada “kekhawatiran geopolitik” tentang potensi serangan terhadap Israel oleh Iran, yang menurut intelijen AS tampaknya akan segera terjadi.
Artinya, volatilitas pasar keuangan akan berlanjut. Tentu hal ini dirasakan tidak nyaman oleh investor ketika pendulum risiko berayun dengan cepat dari inflasi tinggi ke ancaman resesi. Pelaku pasar cenderung mengambil sikap extra prudent, wait and see, dan bahkan menarik diri dari permainan pasar. Barangkali inilah yang bisa menjelaskan mengapa indeks bursa New York dan bursa di negara maju lainnya merosot dalam beberapa hari terakhir ini.
MENYIAPKAN STRATEGI
Rambatan negatif bursa New York terkofirmasi dari perkembangan bursa domestik. Indeks harga saham habungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dibuka cenderung melemah pada awal perdagangan sesi I Kamis (8/8/2024), di tengah bursa saham AS yang kembali bergerak di zona merah.
Pada pembukaan perdagangan hari itu, IHSG dibuka turun tipis 0,07% ke posisi 7.207,35. Tak lama kemudian, koreksi IHSG cenderung membesar menjadi 0,21% ke 7.196,79. Nilai transaksi indeks pada awal sesi I sudah mencapai Rp475 miliar dengan volume transaksi 1,4 miliar lembar saham dan sudah ditransaksikan sebanyak 70.314 kali. Menguatnya kembali dolar AS dan imbal hasil (yield) US Treasury juga menjadi cobaan berat bagi pasar keuangan Indonesia, termasuk IHSG.
Dengan ekspektasi kuat The Fed akan melandaikan suku bunga secara cukup agresif (sebesar 50 bps) pada pertemuan September nanti, sesungguhnya ada ruang terbuka untuk kembali ke bursa ekuitas.
Kalkulasi ekonomi secara mendasar mengajarkan ketika suku bunga turun, maka bakal ada pergeseran investor (kembali) berbondong-bondong ke bursa (saham dan obligasi) dengan ekspektasi imbal hasil lebih atraktif.
Para investor individu dapat menavigasi pelemahan ekonomi dengan lebih baik melalui strategi mendiversifikasi investasi, membangun dana darurat, membayar utang berbunga tinggi sebagai prioritas, dan mempertahankan fokus investasi pada horison jangka panjang.
Selain itu, investor individu sebaiknya menghindari perilaku keuangan yang berisiko dan memastikan pertanggungan asuransi yang memadai untuk melindungi kesejahteraan finansial selama masa-masa yang tidak pasti. Intinya, mengevaluasi situasi keuangan dalam kaitannya dengan pasar ekonomi sangat penting dalam mempersiapkan kemungkinan terburuk, termasuk resesi ekonomi.
Bahkan setiap orang pun harus mempertimbangkan stabilitas pekerjaan (job security) dan bisnis mereka, jika ada risiko kehilangan pekerjaan dan kemerosotan kinerja usaha. Dengan cara ini, segeralah mulai mencari sumber penghasilan baru dan/atau tambahan serta menemukan strategi baru untuk mempertahankan kelangsungan bisnis.
Singkat cerita, pada saat terjadi kemerosotan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi sudah stagnan seperti dialami Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, sebaiknya setiap orang memperhatikan beberapa aspek yang dapat dikendalikan, seperti memprioritaskan biaya penting dan mengurangi pengeluaran yang tidak penting (membeli karena kebutuhan, bukan karena keinginan semata).
Mengurangi atau mempercepat pelunasan kewajiban berbunga tinggi dapat secara signifikan meningkatkan stabilitas keuangan dan menjadikan arus kas lebih fleksibel dan berdaya tahan.
Mereka yang tergolong investor konservatif disarankan berinvestasi dalam logam mulia sebagai cara melestarikan kekayaan, terutama selama perlambatan ekonomi. Sejak 1974, emas telah mengalami pengembalian yang signifikan dalam pengembangan nilai kekayaan.
Nilai emas yang meningkat menjadi lebih signifikan ketika inflasi terkendali dalam level rendah. Maklum, investor kelas menengah ke bawah lebih menderita sebagai akibat dari inflasi tinggi.
Tak kalah pentingnya, individu investor harus mampu menjaga likuiditas sebagai jaring pengaman yang memungkinkan fleksibilitas pengelolaan keuangan yang lebih besar. Dalam bahasa lain, orang-orang perlu menghabiskan lebih sedikit dan/atau menghasilkan lebih banyak.
Rekomendasi “metode longsoran salju” untuk mengatasi banyak utang bisa menjadi rujukan bagi orang per orang. Metode ini melibatkan daftar semua pinjaman dalam urutan suku bunga tertinggi hingga terendah, membuat pembayaran minimum untuk setiap pinjaman, dan kemudian mengarahkan dana yang tersisa untuk melakukan pembayaran agresif pada pinjaman dengan suku bunga tertinggi.