Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Bagong Suyanto

Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Deflasi, PHK, dan Masa Depan Ekonomi RI

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2024 ini deflasi pada Mei tercatat 0,03%, pada Juni 0,08% dan meningkat pada Juli 2024 sebesar 0,18%.
Aktivitas jual beli kebutuhan pokok di Pasar Minggu. Bisnis/Nurul Hidayat
Aktivitas jual beli kebutuhan pokok di Pasar Minggu. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Deflasi di atas kertas dinilai meng­untungkan bagi kon­sumen karena harga barang di pasar turun alias lebih murah. Namun, ketika deflasi terjadi tiga bulan berturut-turut, maka bukan tidak mungkin dampaknya justru membahayakan kondisi ekonomi masyarakat.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2024 ini deflasi pada Mei tercatat 0,03%, pada Juni 0,08% dan meningkat pada Juli 2024 sebesar 0,18%.

Berbeda dengan inflasi yang ditandai dengan terjadinya kenaikan harga produk di pasaran, deflasi justru di­­tandai oleh fenomena penurunan harga yang ada di da­­lam suatu wilayah. Deflasi ibaratnya adalah alarm bagi kita.

Deflasi bisa menjadi penanda awal bahwa masyarakat sedang tidak baik-baik saja karena tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhan hidupnya. Ini adalah sebuah gejala di mana masyarakat tidak bisa mengonsumsi barang dengan wajar atau setidaknya menunda konsumsinya karena tidak memiliki dana yang cukup.

Deflasi sesungguhnya merupakan implikasi dari rangkaian permasalahan pengelolaan ekonomi yang tidak tepat dan memadai. Walaupun deflasi terkadang diklaim terjadi karena suplai yang melimpah di pasar. Namun, dalam kenyataan sering terjadi deflasi timbul karena penurunan daya beli dan penghasilan masyarakat. Turunnya harga di pasaran bukan karena terjadinya overstock, melainkan lebih karena penurunan kemampuan masyarakat imbas dari berbagai persoalan ekonomi yang dialaminya.

DAYA BELI

Ketika daya beli masyarakat turun, imbasnya bukan hanya pada turunnya permintaan produk dan jasa di pasaran, tetapi juga munculnya tren pemutusan hubungan kerja (PHK). Di berbagai daerah, tidak sedikit industri manufaktur yang dilaporkan terpaksa menutup usahanya. Sepanjang 2024, PHK massal marak terjadi di berbagai daerah. Pasar yang lesu menyebabkan dunia usaha terpaksa memangkas kapasitas produksi. Di sisi lain, serbuan produk-produk impor yang luar biasa deras mau tidak mau menyebabkan daya saing produk dalam negeri menjadi keteteran.

Aturan Menteri Perdagangan No. 8/2024, alih-alih melindungi pasar nasional, justru yang terjadi adalah memicu masuknya pakaian impor secara besar-besaran ke Indonesia. Kebijakan baru ini menyebabkan barang impor murah dengan mudah menyerbu pasar Indonesia, terutama produk keramik, tekstil, alas kaki serta kosmetik.

Nasib pelaku usaha nasional yang masih kembang-kempis akibat imbas pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, akhirnya harus mengalami pukulan kedua gara-gara arus deras produk impor yang tidak terkendali.

Saat ini, gelombang PHK yang terjadi, terutama di sektor manufaktur menyebabkan kondisi ekonomi nasional benar-benar di ujung tanduk. Lonjakan angka PHK selama separuh pertama tahun ini membuat masyarakat benar-benar nyaris putus asa. Selama semester 1/2024, menurut data Kementerian Tenaga Kerja angka PHK dilaporkan telah mencapai 32.064 orang, naik tajam sebesar 95,51% dibandingkan dengan periode yang sama 2023.

Meski pemerintah mengeklaim realisasi investasi yang masuk selama Januari—Juni 2024 telah menciptakan lapangan kerja sebanyak 1,23 juta pekerjaan baru, tetapi jumlah pekerja yang terkena PHK tidak kalah banyak. Ada indikasi daftar pencari kerja di Tanah Air tidak banyak yang terserap di sektor perekonomian firma. Dalam 5 tahun terakhir (2019—2024), dilaporkan hanya 2,77 juta alias tak sampai 3 juta lapangan kerja formal baru yang tercipta. Ini berbeda jauh dengan periode 2009—2014, di mana lapangan kerja yang tercipta di sektor formal berhasil menyerap sekitar 15,62 juta pekerja.

Dalam beberapa tahun terakhir, tidak sedikit masyarakat yang mengalami pergeseran mata pencaharian. Mereka tidak lagi bekerja di sektor formal. Dalam 5 tahun terakhir, ada indikasi masyarakat makin sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Hingga Februari 2024, berdasarkan data Sakernas, hanya 58,05 juta orang Indonesia yang bekerja di sektor formal. Sementara itu, sebanyak 59,17% masyarakat umumnya bekerja di sektor informal yang tidak menjanjikan kepastian penghasilan.

Saat ini, tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban PHK akhirnya masuk ke sektor gig economy, seperti menjadi pekerja ojek online, membuka usaha kecil-kecilan dengan dukungan modal yang tidak seberapa, atau masuk ke dalam bisnis online yang tidak membutuhkan konter-konter khusus di mal atau pasar. UMKM kini menjadi salah satu andalan masyarakat untuk menyambung hidup.

Di banyak daerah, kehadiran UMKM terlihat makin banyak, mulai dari menjadi penjual barang dari supplier (reseller) barang di marketplace, membuka warung kelontong di kampung atau kompleks perumahan menengah ke bawah, membuka jasa cuci baju dan lain sebagainya. Bagi yang tidak memiliki modal, masyarakat yang menjadi korban PHK biasanya kembali ke kampung halaman ikut orang tuanya—sembari menunggu kondisi ekonomi kembali membaik.

Banyak keluarga kini mengembangkan mekanisme “makan tabungan” untuk menyambung hidup. Masalahnya adalah sampai kapan tabungan yang dimiliki mampu diandalkan untuk menghidupi keluarganya jika sama sekali tidak ada penghasilan yang masuk? Inilah keresahan yang banyak mewarnai kehidupan keluarga kelas menengah yang menjadi korban PHK.

Jangankan berbicara keluarga miskin. Dewasa ini, kehidupan keluarga-keluarga kelas menengah pun harus menghadapi tekanan yang nyaris sama seperti dialami keluarga miskin. Daya beli kelas menengah kini turun drastis—sama seperti daya beli keluarga miskin. Akibat menjadi korban PHK atau karena usahanya mengalami kemunduran, penghasilan keluarga dari kelas menengah dilaporkan turun. Padahal mereka di saat yang sama sudah terlanjur mengkredit rumah dan mobil—yang tentu sulit dipenuhi ketika pekerjaan yang ditekuni tidak bisa lagi diandalkan.

PEMERINTAH

Untuk mencegah agar daya beli masyarakat tidak makin terpuruk dan korban-korban PHK tidak masuk dalam pusaran kemiskinan yang mematikan, harus diakui tidak banyak pilihan yang tersedia.

Pertama, pemerintah mau tidak mau harus fokus untuk menyelamatkan nasib industri manufaktur yang kini tengah sekarat. Untuk sementara waktu ada baiknya jika pemerintah berusaha memastikan agar nasib sektor manufaktur tidak tergerus iklim persaingan akibat masuknya produk impor yang tidak terkendali. Mendahulukan kepentingan industri dalam negeri perlu benar-benar dikedepankan agar ekonomi nasional tidak kolaps.

Kedua, pemerintah harus memanfaatkan APBD untuk membangun proyek padat karya yang dapat menyerap warga masyarakat yang menjadi korban PHK agar dapat kembali bekerja. APBN bagaimana pun adalah salah satu tumpuan pemerintah untuk dapat berperan mendorong penciptaan lapangan kerja yang mampu menampung para korban PHK.

Ketiga, pemerintah perlu mendorong optimisme masyarakat agar tidak patah arang. Indeks Keyakinan Konsumen Juni 2024 yang terperosok turun dua bulan berturut-turut ke level terendah sejak Maret perlu dibangkitkan kembali. Mendorong akselerasi perekonomian nasional, bagaimana pun akan sulit dilakukan jika masyarakat apatis dengan masa depan bangsa ini.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Bagong Suyanto
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper