Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Fikri C. Permana

Ekonom KB Valbury Sekuritas

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Memaknai Deflasi Bulanan Ketiga Berturut-turut

Bahkan jika merujuk rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Agustus 2024, deflasi Juli 2024 mencapai angka 0,18% month-to-month (MtM).
Aktivitas jual beli kebutuhan pokok di Pasar Minggu. Bisnis/Nurul Hidayat
Aktivitas jual beli kebutuhan pokok di Pasar Minggu. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Penurunan harga atau deflasi bulanan pada Juli 2024 menjadi kondisi deflasi ketiga bulanan secara berturut-turut yang terjadi di Indonesia.

Bahkan jika merujuk rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Agustus 2024, deflasi Juli 2024 mencapai angka 0,18% month-to-month (MtM).

Artinya deflasi yang terjadi di Juli bahkan lebih besar dibanding deflasi yang terjadi dua bulan sebelumnya (Mei dan Juni) yang hanya di angka deflasi 0,03% MtM dan 0,08% MtM secara berturut-turut.

Hal yang bisa dikatakan cukup di luar kebiasaan, mengingat kondisi ini terakhir kalinya terjadi pada periode Juni—Agustus 2020. Bahkan di periode sebelumnya, deflasi selama tiga bulan berturut-turut hanya terjadi sebelum era milennial baru dimulai, yakninya di periode Maret—September 1999.

Karenanya, berbagai pertanyaan muncul di permukaan. Apakah data inflasi telah sesuai dengan kondisi perkembangan harga di masyarakat?

Apakah deflasi ini akan mendorong perbaikan daya beli atau malah menjadi sinyal melemahnya daya beli masyarakat? Apakah deflasi juga menjadi sinyal makin efisiennya sisi produksi dan distribusi barang dan jasa di dalam negeri?

Atau bahkan pertanyaan terkait apakah deflasi yang terjadi merupakan bentuk perilaku wait and see dan berjaga-jaga yang dilakukan oleh masyarakat jelang penurunan suku bunga acuan dan biaya dana di perekonomian nantinya?

Dalam lingkup keluarga, mungkin pertanyaan di atas akan sangat relevan ditanyakan dan mudah dijawab oleh pemegang fungsi anggaran di keluarga, yakni para “ibu-ibu”.

Namun, secara agregat, kondisi di atas tentunya akan sangat memengaruhi kebijakan fiskal, moneter dan prudensial yang akan diambil ke depan. Sehingga pertanyaan lanjutan akan tertuju pada kebijakan pro-cyclical ataupun counter-cyclical yang akan diambil oleh para pemangku kebijakan ekonomi.

Kembali pada data inflasi di Juli, di mana berdasarkan kelompok komponen, deflasi bulanan didorong oleh Komponen Barang Bergejolak yang mengalami deflasi -0,32% MtM.

Hal ini khususnya disebabkan oleh penurunan harga bawang merah (-26,94% MtM), cabai merah (-8,78% MtM), daging ayam (-6,13% MtM), dan bawang putih (-3,30% MtM) di bulan yang sama. Pola yang relatif mirip terjadi pada dua bulan sebelumnya.

Namun, jika merujuk pada pernyataan Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasill Hortikultura Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang Sugiarto, dalam rapat inflasi bulanan pada 8 Juli 2024, yang menyatakan bahwa “cabai merah besar kita bulan-bulan ini dalam posisi kritis karena stok kita minim atau kecil sampai September nanti”, tentunya penurunan harga cabai yang terjadi dalam tiga bulan terakhir dikhawatirkan bukan disebabkan oleh sisi produksi yang mengalami peningkatan produksi yang signifikan.

Di sisi lain, jika merujuk pada data komponen Inflasi inti, yang memperlihatkan pergerakan harga barang yang disebabkan oleh faktor fundamental, khususnya interaksi permintaan-penawaran, adanya inflasi komponen inti sebesar 0,18% MtM di Juli dan 2,37% MtM di Mei lalu, harapannya kekhawatiran melemahnya permintaan juga diharapkan bukan menjadi alasan terjadinya deflasi di tiga bulan terakhir.

Harapannya, hal ini juga masih membuka kemungkinan bahwa perekonomian Indonesia belum akan berada dalam zona kontraksi pertumbuhan ekonomi, apalagi stagflasi.

Walaupun begitu, indikator pelemahan daya beli ataupun kemungkinan perilaku wait and see, perlu menjadi perhatian. Jika merujuk pada bagaimana komposisi wallet-share, seharusnya penurunan harga bahan pokok ataupun inflasi dapat menjadi dorongan tambahan bagi sisi tabungan, investasi ataupun pembelanjaan barang tahan lama.

Sayangnya, Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat penjualan sepeda motor selama setengah tahun pertama 2024 malah mengalami penurunan 0,97% jika dibandingkan dengan semester pertama 2023. Di saat yang sama, rilis data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) juga mencatat adanya penurunan sebesar 19,43% penjualan mobil selama paruh pertama 2024 jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Kondisi yang relatif hampir sama juga ditunjukkan oleh perkembangan Indeks Penjualan Riil (IPR) yang dirilis oleh Bank Indonesia tiap bulannya sebagai bagian dari Survei Penjualan Eceran (SPE). Di mana tren pertumbuhan penjualan eceran hingga Juni terlihat positif dalam kategori makanan, minuman, dan tembakau, yang dapat dikategorikan sebagai kebutuhan ttama masyarakat. Bahkan tren positif ini telah berlangsung selama 2 tahun terakhir, atau setelah terjadinya pandemi.

Sementara itu, tren penjualan eceren untuk kategori kebutuhan tersier, seperti peralatan informasi dan komunikasi; serta barang budaya dan rekreasi, yang malah cenderung menunjukkan pertumbuhan negatif setiap bulannya dalam periode yang sama.

Sementara itu, Nilai Tukar Petani (NTP), yang terkadang digunakan sebagai ukuran daya beli petani di perdesaan malah menunjukkan peningkatan. Bahkan dalam 2 bulan terakhir, Juni dan Juli 2024, peningkatan nilai tukar petani cukup signifikan, yakni sebesar 1,77% MtM dan 0,77% MtM.

Sehingga kekhawatiran pelemahan daya beli tampaknya dapat lebih diarahkan ke kelompok masyarakat di perkotaan, yang secara nominal cenderung dikelompokkan sebagai kelas menengah.

Di sisi lain, merujuk pada hasil Survei Harga Property Residensial (SHPR) yang dikeluarkan BI hingga triwulan I/2024, terlihat jumlah penjualan penjualan properti residensial selalu tumbuh setiap triwulannya.

Terlepas dari masih cukup besarnya backlog yang terjadi di sektor perumahan, tetapi peningkatan permintaan dari sektor properti di pasar primer, khususnya tipe kecil, yang tumbuh 2,41% YoY pada 3 bulan pertama 2024—tingkat pertumbuhan tertinggi sejak 2022—patut menjadi hal yang cukup menarik diperhatikan.

Hal yang bisa saja juga menjadi salah satu indikator adanya perubahan gaya hidup di masyakarat saat ini. Terlebih makin berkembangnya informasi, literasi dan tren juga mendorong adanya gaya hidup non-konsumtif dan berkelanjutan.

Disisi lain, informasi dan literasi yang lebih baik juga tampaknya menjadi dorongan lain bagi ekspektasi masyarakat bahwa akan adanya penurunan suku bunga acuan dan biaya dana di masa depan.

Terlebih sentimen dovish mulai terlihat sejak pemangkasan suku bunga acuan bank sentral Swiss sebesar 25 bps di 21 Maret 2024, dan makin diperkuat oleh hasil FOMC Meeting The Fed yang dilakukan di 31 Juli 2024.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper