Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Sebut AS Tidak Dalam Masa Resesi, Ini Sebabnya

Ekonom menilai AS tidak berada dalam fase resesi meski realisasi data ketenagakerjaan non farm payrolls (NFP) menunjukkan realisasi dibawah konsensus pasar.
Gedung-gedung di Manhattan terlihat dari puncak observatorium One Vanderbilt di Manhattan, New York City, AS, 14 April 2023./Reuters
Gedung-gedung di Manhattan terlihat dari puncak observatorium One Vanderbilt di Manhattan, New York City, AS, 14 April 2023./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Amerika Serikat (AS) dinilai tidak berada dalam fase resesi meski realisasi data ketenagakerjaan non farm payrolls (NFP) menunjukkan realisasi dibawah konsensus pasar.

Ekonom Bahana Sekuritas Drewya Satria dalam laporannya menyebut, koreksi besar-besaran di pasar saham yang tengah terjadi dipicu oleh rilis data ketenagakerjaan non farm payrolls (NFP) AS periode Juli 2024 yang di bawah ekspektasi.

Rilis tersebut melaporkan penambahan sebanyak 114.000 pekerjaan, dibawah perkiraan konsensus sebanyak 175.000 pekerjaan.

"Hal ini memunculkan persepsi bahwa Bank Sentral AS, The Fed, terlambat merespons potensi resesi. Sementara itu, pasar saat ini memprediksi pemangkasan suku bunga sebesar 50 basis poin pada September mendatang," jelas Satria dalam laporannya, Senin (5/8/2024).

Namun, Satria menilai penambahan jumlah pekerjaan pada Juli 2024 tidak seburuk yang dipersepsikan pasar saat ini. Dia menuturkan, AS tidak mengalami resesi saat rilis data NFP menunjukkan penambahan dibawah 100.000 pekerjaan pada 2012, 2013, 2015, 2016, dan 2017.

Terpenting, resesi tidak terjadi di AS pada 2018-2019 lalu saat suku bunga acuan AS dinilai terlalu tinggi dan The Fed saat itu disebut terlalu hawkish. 

Sementara itu, dia juga menyebut angka NFP aktual pada periode April-Juni hanya direvisi sekitar 27.000-67.000 lebih rendah. Sementara itu, data pada Maret 2024 sirevisi lebih tinggi, sehingga mencerminkan kekuatan pasar tenaga kerja AS yang berkelanjutan.

"Inflationary trade belum mati karena AS akan memompa lebih banyak uang dan menstimulasi ekonomi jelang pemilihan presiden pada November mendatang," kata Satria.

Adapun, dia juga menyebut aksi jual besar-besaran di pasar saham saat ini kemungkinan terjadi akibat berakhirnya era carry trade Yen Jepang, bukan karena resesi AS. 

Satria menyebut, hal ini menjadi kesempatan yang baik bagi para investor untuk mengumpulkan komoditas yang diuntungkan dari resiliensi permintaan global atau ketahanan ekonomi global.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper