Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pasar Waswas AS Resesi, Bursa Saham Asia Merah Menyala

Pasar saham di kawasan Asia terpantau anjlok pada Senin (5/8/2024) seiring dengan kekhawatiran masuknya AS ke kondisi resesi.
Karyawan mengamati pergerakan harga saham di Profindo Sekuritas, Jakarta, Selasa (11/6/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha
Karyawan mengamati pergerakan harga saham di Profindo Sekuritas, Jakarta, Selasa (11/6/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARA - Pasar saham di kawasan Asia terpantau anjlok pada Senin (5/8/2024) seiring dengan kekhawatiran masuknya AS ke kondisi resesi.

Hal ini memicu investor bergegas menghindari risiko sambil bertaruh bahwa penurunan suku bunga yang cepat akan diperlukan untuk menyelamatkan pertumbuhan.

Mengutip  Reuters, indeks Nikkei Jepang turun sebesar 13% hingga mencapai posisi terendahnya tujuh bulan. Korupsi sedalam ini belum pernah terjadi lagi sejak krisis keuangan global pada 2011 lalu. Sementara itu, Indeks MSCI saham Asia Pasifik di luar Jepang terpantau turun 4,2%.

Sementara itu, Indeks Korea Selatan Kospi juga anjlok hingga 8,1% pada Senin siang setelah anjlok 3,7% pada Jumat (2/8/2024) pekan lalu. Kondisi ini memicu pemberlakuan kebijakan pemberhentian perdagangan atau circuit breaker untuk pertama kalinya sejak 2020 lalu.

Adapun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga terpantau menurun 2,01% atau 13,30 poin ke posisi 7.161,227.

Mata uang safe-haven yen dan franc Swiss melonjak seiring melemahnya perdagangan carry trade. Hal ini memicu spekulasi bahwa beberapa investor harus melepas perdagangan yang menguntungkan hanya untuk mendapatkan uang guna menutupi kerugian di tempat lain.

Kontrak berjangka Nasdaq tercatat merosot 4,7%, sementara kontrak berjangka S&P 500 turun 12,4% seiring penurunan yang terjadi di seluruh dunia. EUROSTOXX 50 berjangka turun 2,1% dan FTSE berjangka melemah 1,2%.

Selanjutnya,tingkat imbal hasil (yield) obligasi 10-tahun Jepang turun tajam 17 basis poin ke level terendah sejak April pada 0,785%. Hal ini dipicu oleh kondisi pasar yang secara radikal mempertimbangkan kembali prospek kenaikan suku bunga lagi dari Bank of Japan.

Adapun, obligasi pemerintah saat ini banyak diminati dengan imbal hasil 10 tahun mencapai 3,723%, atau terendah sejak pertengahan tahun 2023. 

Sementara itu, imbal hasil obligasi dua tahun turun menjadi 3,807%, setelah turun 50 basis poin pada minggu lalu. Pergerakan ini membuat tingkat yield obligasi tenor dua tahun akan segera turun di bawah imbal hasil obligasi 10 tahun, mengubah kurva menjadi positif seperti yang menandai terjadinya resesi di masa lalu.

Laporan penggajian atau payrolls periode Juli yang sangat lemah membuat pasar memperkirakan peluang sebesar 78% bahwa Bank Central AS, The Federal Reserve (The Fed) tidak hanya akan menurunkan suku bunga pada September, namun juga melakukan pelonggaran sebesar 50 basis poin. 

Kontrak berjangka menyiratkan pemotongan suku bunga dana sebesar 122 basis poin sebesar 5,25-5,5% tahun ini, dan memperkirakan suku bunga akan berada di kisaran 3,0% pada akhir tahun 2025.

Laporan analis di Goldman Sachs telah meningkatkan peluang resesi dalam 12 bulan sebesar 10 poin menjadi 25%. Namun. Goldman Sachs menyebut bahaya resesi ini dibatasi oleh ruang lingkup yang dimiliki The Fed untuk melonggarkan kebijakannya.

Goldman Sachs kini memperkirakan pemotongan suku bunga sebesar 0,25% pada bulan September, November, dan Desember. 

“Premis perkiraan kami adalah pertumbuhan lapangan kerja akan pulih pada Agustus dan FOMC akan menilai pemotongan sebesar 25 basis poin merupakan respons yang cukup terhadap risiko penurunan apa pun. Jika laporan ketenagakerjaan periode Agustus sama lemahnya dengan Juli, maka kemungkinan pemotongan sebesar 50 basis poin akan terjadi pada September," jelas Goldman Sachs dalam laporannya.

Sementara itu, Analis di JPMorgan mengeluarkan sikap yang lebih bearish dan memperkirakan kemungkinan resesi AS sebesar 50%.

“Sekarang The Fed terlihat berada di belakang kurva, kami memperkirakan pemotongan sebesar 50 basis poin pada pertemuan September, diikuti oleh pemotongan 50 basis poin lagi pada November,” kata ekonom JPMorgan, Michael Feroli.

Feroli melanjutkan, memang ada kemungkinan untuk melakukan pelonggaran antar-pertemuan, terutama jika data semakin melemah. Meski demikian, dia menyebut para pejabat The Fed kemungkinan akan khawatir tentang bagaimana langkah tersebut dapat disalahartikan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper