Bisnis.com, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia merespons soal tertahannya konsumsi rumah tangga hingga pertumbuhan ekonomi yang melandai pada kuartal II/2024.
Adapun, laporan BPS teranyar menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2024 sebesar 5,05% (YoY) ternyata turun jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2024 sebesar 5,11% (YoY).
Sementara konsumsi rumah tangga di kuartal II/2024 tumbuh hanya 4,93% YoY, lebih pelan dari kinerja periode yang sama tahun lalu mencapai 5,23% YoY.
Ketua Umum Kadin, Arsjad Rasjid mengakui bahwa perlambatan ekonomi dan konsumsi rumah tangga terjadi akibat adanya penurunan permintaan domestik pada kuartal II/2024 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Faktor musiman seperti Ramadan dan Pemilu yang bergeser di periode kuartal I/2024 telah mempengaruhi konsumsi di kuartal II/2024.
"Pada tahun ini banyak pengeluaran terkait dengan Ramadan dan Idulfitri terjadi lebih awal di kuartal I, ini berbeda dengan tahun sebelumnya," ujar Arsjad saat dihubungi, Senin (5/8/2024).
Baca Juga
Di sisi lain, para pengusaha juga melihat bahwa melambatnya PMI Manufaktur pada Juli 2024 akibat tekanan eksternal global seperti geopolitik juga telah memukul konsumsi domestik pada kuartal II/2024.
Apalagi, tantangan eksternal seperti era suku bunga The Fed yang tak kunjung melandai hingga membuat nilai tukar Rupiah semakin melemah.
"Belum lagi perlambatan juga terjadi dari sisi permintaan pasar pasar utama Indonesia, seperti China," ungkapnya.
Kendati begitu, Arsjad menuturkan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II/2024 sebesar 5,05% masih mencerminkan stabilitas ekonomi domestik. Dia pun mengaku masih optimistis dengan prospek pertumbuhan di kuartal selanjutnya, dengan catatan bahwa pemerintah perlu berupaya menjaga daya beli masyarakat kelompok bawah dan menengah ke bawah.
Para pengusaha pun juga berharap adanya peluang untuk penyesuaian suku bunga acuan demi mendukung pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Pasalnya, suku bunga yang tinggi, kata Arsjad juga telah menyebabkan kredit produktif dan konsumtif menjadi lebih mahal.
"Kami berharap pemerintah dan Bank Indonesia dapat terus berkoordinasi dalam memantau perkembangan eksternal," ucapnya.