Selain itu, kata dia, pemerintah juga bakal mendefinisikan ulang konsumen pengguna Solar yang berhak atas subsidi. Dia menerangkan revisi itu dilakukan untuk memastikan alokasi subsidi tersebut lebih tepat sasaran.
“Nanti aturan yang lebih detail akan dimuat dalam aturan turunan dari revisi Perpres No. 191/2014, yang akan diterbitkan oleh Ditjen Migas dan BPH Migas,” kata Sentot kepada Bisnis, Rabu (10/7/2024).
Di sisi lain, Sentot menambahkan target waktu pengesahan revisi beleid itu bakal tergantung dari penyelesaian proses legal di antara tiga kementerian tersebut.
Adapun, wacana pengendalian konsumsi Pertalite dan Solar subsidi juga dicantumkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025.
Dalam dokumen itu, tercatat rencana pemerintah dalam pengendalian subsidi dan kompensasi atas Solar dan Pertalite yang berkeadilan dapat diterapkan dengan pengendalian kategori konsumen.
Pemerintah beralasan bahwa saat ini Solar dan Pertalite yang dijual di bawah harga keekonomiannya telah memunculkan kompensasi yang harus dibayar oleh APBN. Volume konsumsi Solar dan Pertalite terus meningkat, demikian juga beban subsidi dan kompensasinya dan mayoritas dinikmati oleh rumah tangga kaya.
Di sisi lain, pemerintah juga menyinggung soal polusi udara yang bersumber dari gas buang kendaraan menduduki posisi teratas sekitar 32-57%.
Oleh karena itu, pemerintah menilai diperlukan adanya kebijakan yang dapat mengendalikan konsumsi BBM. Dengan pengendalian konsumen yang berkeadilan, diperkirakan dapat mengurangi volume konsumsi Solar dan Pertalite sebesar 17,8 juta kiloliter per tahun.
Selain itu, pemerintah juga berencana melakukan penyesuaian tarif listrik bagi pelanggan rumah tangga kaya golongan 3.500 volt ampere (VA) ke atas (R2 dan R3) serta golongan pemerintah (P1, P2, P3).
"Keseluruhan simulasi reformasi subsidi dan kompensasi energi ini diproyeksikan akan menghasilkan efisiensi anggaran sebesar Rp67,1 triliun per tahun," tulis pemerintah dalam dokumen KEM-PPKF 2025.