Bisnis.com, JAKARTA – Industri tekstil Tanah Air dari hilir ke hulu perlu segera diselamatkan dari agresi barang impor selaku penyebab terjadinya PHK massal dalam beberapa waktu terakhir. Jika tidak, industri ini berpotensi memperbanyak jumlah buruh informal yang lantas memangkas pemasukan negara.
Sebab, barang-barang impor (legal maupun ilegal) menggempur pasar domestik dengan harga super murah yang menyebabkan perusahaan-perusahaan di dalam negeri tidak mampu bersaing dan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja alias PHK karyawan.
Pada medio 2022-2023, produk tekstil asal China dijual di bawah harga pokok produksi (HPP) akibat pasokan meluap. Tahun ini, situasi kian memburuk karena harga produk tekstil jadi dari negara tersebut dijual lebih murah dibandingkan dengan banderol bahan baku.
Informasi ini diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (Apsyfi) Redma Wirawasta yang sedang ikut memantau ketat situasi karena dampak perkara di sisi hilir sudah meluas hingga ke hulu.
“Kami sudah mulai mengurangi produksi. Untuk beberapa produk tidak diproduksi lagi. Kapasitas polimerisasi dikurangi 50%. Sekarang sudah jalan di 45%. Kalau hilirnya mati, siapa yang mau beli bahan dari hulu?” kata Redma kepada Bisnis baru-baru ini.
Dia menjelaskan kapasitas produksi normal bahan baku tekstil di sektor hulu mencapai 2,4 juta ton/tahun. Terdiri atas produksi polyester 1,6 juta ton/tahun dan rayon 800.000 ton/tahun, dengan konsumsi bahan baku serat 1,2 juta ton/tahun.
Saat ini, sambungnya, Apsyfi bersama-sama dengan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) selaku representasi pemain hilir sedang mendorong pemerintah untuk mengeluarkan instrumen yang bisa mencegah terjadinya PHK pada masa mendatang.
“Terkait dengan masalah PHK, kami lagi membantu sektor hilir. Sebab, kalau kami cuma memikirkan hulu dengan berbagai proteksi seperti safeguard dan antidumping, tapi kalau di hilirnya terbuka percuma juga,” katanya.