Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hemat Subsidi BBM, Pemerintah Atur Ulang Kriteria Penerima Solar

Pemerintah memutuskan untuk mengatur ulang kriteria penerima Solar untuk menghemat anggaran subsidi.
SPBU Pertamina. /Istimewa
SPBU Pertamina. /Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah belakangan memutuskan untuk mengatur ulang kriteria penerima Solar subsidi. Artinya, pos anggaran yang selama ini disalurkan untuk kompensasi Solar itu bakal ikut ditekan. 

Pengaturan itu tertuang dalam pembahasan akhir soal revisi Peraturan Presiden No. 191/2014. Saat ini, pemerintah tengah menyelesaikan proses legal untuk pengesahan beleid tersebut.

Adapun, Perpres itu telah lebih dahulu mengatur pembatasan kriteria penerima Solar.

Awalnya sejak inisiatif revisi beleid ini muncul dua tahun terakhir, pemerintah hanya fokus pada pengaturan kriteria penerima konsumen Pertalite, yang benar-benar belum diakomodasi dalam Perpres tersebut.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan pengaturan kembali terkait dengan kriteria penerima Jenis BBM Tertentu (JBT) Minyak Solar dilakukan untuk menghemat subsidi.

“Perlu pula dilakukan pengaturan kembali terkait konsumen pengguna Minyak Solar. Melalui pengaturan konsumen pengguna JBT dan JBKP, penyediaan dan pendistribusian BBM diharapkan lebih tepat sasaran sehingga dapat menghemat subsidi,” kata Dadan saat dikonfirmasi, Kamis (11/7/2024).

Dadan berharap pengaturan dua jenis bahan bakar bensin itu bisa menghembat anggaran belanja subsidi pemerintah nantinya.

Saat ini, dia menggarisbawahi, konsumen pengguna Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite masih belum diatur.

“Revisi Peraturan Presiden No. 191/2014 diperlukan dalam rangka pengaturan konsumen pengguna sehingga dapat menghemat anggaran subsidi,” kata dia.

Sebelumnya, Komisi VII DPR RI bersama dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyepakati subsidi tetap Minyak Solar (gas oil 48) berada di rentang Rp1.000 per liter sampai dengan Rp3.000 per liter.

Kesepakatan itu bakal menjadi asumsi dasar sektor ESDM untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025.

Komisi yang mengurusi bidang energi itu turut menetapkan alokasi subsidi Minyak Solar sebesar 18,5 juta kiloliter sampai dengan 19 juta kiloliter pada RAPBN 2025.

Saat ini, subsidi Solar berada di angka Rp1.000 per liter dan besarnya kompensasi yang dialokasikan sampai dengan Mei 2024 mencapai Rp4.496 per liter.

Sementara itu, Kementerian ESDM membeberkan harga keekonomian Solar telah mencapai Rp12.100 per liter per tengah tahun ini. Di sisi lain, harga jual eceran dipatok sebesar Rp6.800 per liter.

Seperti diberitakan sebelumnya, PT Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial and Trading PT Pertamina (Persero), meminta pemerintah meninjau kembali alokasi subsidi Solar yang dinilai sudah tidak sesuai dengan harga keekonomian.

Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan mengatakan bahwa saat ini besaran subsidi Solar yang dialokasikan pemerintah hanya Rp1.000 per liter, sementara harga jual Solar sebesar Rp6.800 per liter.

Riva pun meminta dukungan dari pemerintah khususnya kepada Komisi VII DPR agar pemerintah meninjau ulang subsidi bagi bahan bakar solar.

“Untuk JBT Solar, kami ingin sampaikan dan permohonan dukungan untuk melakukan peninjauan terhadap angka subsidi, di mana saat ini angka subsidi yang ada di formula besarannya adalah Rp1.000," kata Riva saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Selasa (28/5/2024).

Riva menjelaskan, peninjauan kembali diperlukan karena penetapan alokasi subsidi tersebut jauh lebih rendah dari harga keekonomian Solar saat ini, yang menyebabkan Pertamina menanggung terlebih dahulu sebesar Rp5.000 per liter, sebelum nantinya mendapat kompensasi dari pemerintah.

Pertamina memastikan bakal menjaga pendistribusian Solar berada diangka 17,7 juta kiloliter (kl) atau 0,55% di bawah kuota 2024 sebesar 17,8 juta kl.

Adapun, Pertamina menerima pembayaran dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) atas kekurangan penerimaan akibat penetapan harga jual eceran periode 2023 sebesar Rp43,52 triliun atau Rp39,20 triliun (tidak termasuk pajak).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper