Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai masuknya kembali skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) akan mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan bahwa skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik, bukan hal baru karena sudah diatur sebelumnya dalam UU Ketenagalistrikan, tetapi tidak dijalankan.
Dirinya mengatakan, power wheeling merupakan keniscayaan dengan struktur pasar kelistrikan Indonesia saat ini, yaitu regulated vertical integrated atau dioperasikan oleh perusahaan tunggal dan di bawah pengawasan pemerintah.
“Dalam hal ini, PLN sebagai pemegang wilayah usaha terintegrasi mendapatkan hak membangun dan mengoperasikan sistem transmisi, sementara pelaku usaha lain tidak mendapatkan hak tersebut. Oleh karena itu, jaringan listrik seharusnya dapat diakses oleh pihak lain untuk menyalurkan listrik dari pembangkit ke pengguna, yang pada gilirannya memberikan pendapatan bagi PLN melalui biaya sewa jaringan,” kata Fabby dalam keterangannya, dikutip Kamis (11/7/2024).
Fabby menilai bahwa penerapan skema power wheeling untuk energi terbarukan juga merupakan langkah efisien untuk mengurangi biaya pengembangan infrastruktur transmisi dan distribusi.
Selain itu, skema ini bakal menekan biaya keandalan (reliability cost) dengan mengoptimalkan infrastruktur yang sudah ada dibandingkan membangun jaringan baru.
Baca Juga
“Dengan ini, dapat membuka akses pengembang dan konsumen ke sumber-sumber energi yang selama ini tidak dapat dimanfaatkan karena pengembangan energi terbarukan sangat tergantung pada PLN yang membeli dan menyalurkan listrik sesuai kenaikan permintaan,” ujarnya
Lebih lanjut, Fabby menuturkan bahwa pengaturan renewable power wheeling harus dilakukan secara ketat sehingga dapat menjaga keandalan dan keamanan pasokan listrik (security of supply) bagi konsumen dan tidak merugikan pemilik jaringan dan operator sistem.
Pengaturan tersebut menyangkut perhitungan tarif wheeling (wheeling charge), yang harus memasukan komponen biaya system losses (kerugian sistem), biaya kehandalan, ancillary services (layanan tambahan) dan biaya contingency (cadangan), serta pengembangan sistem transmisi dan distribusi tenaga listrik.
“Untuk itu, pemerintah perlu menyusun panduan aturan yang jelas tentang metode perhitungan tarif wheeling sehingga tidak merugikan pemilik jaringan dan operator sistem,” ucap Fabby.
Adapun, pemerintah kembali mengusulkan masuknya skema bisnis pemanfaatan bersama jaringan listrik atau power wheeling ke dalam RUU EBET.
Ketentuan power wheeling akan diatur dalam Pasal 29A RUU EBET. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memaparkan bahwa secara umum, rumusan ketentuan kerja sama jaringan (open access) mengatur mengenai keharusan pemegang wilayah usaha (wilus) untuk memenuhi kebutuhan konsumen atas listrik yang bersumber dari energi baru dan energi terbarukan.
Mekanisme jika pemegang wilus tidak bisa memenuhi kebutuhan konsumen, maka konsumen dapat diberikan pasokan listrik melalui point-to-point, kerja sama pemanfaatan (sewa) aset pembangkit atau perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan pemegang wilus lain.
"Mekanisme tersebut dilakukan melalui usaha transmisi dan/atau distribusi atau power wheeling," ujar Arifin dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Senin (20/11/2023).
Untuk pelaksanaan power wheeling, kata Arifin, wajib dibuka akses (open access) penyaluran listrik dari sumber EBET dengan mengenakan biaya yang diatur oleh pemerintah.
"Dengan syarat tetap menjaga dan memperhatikan keandalan sistem, kualitas pelayanan pelanggan, dan keekonomian pemegang dari izin wilayah usaha transmisi dan distribusi tenaga listrik," ucap Arifin.