Bisnis.com, JAKARTA — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan sebagian besar produksi gas bumi saat ini telah dialokasikan untuk konsumen dalam negeri.
Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengatakan, serapan domestik untuk produksi gas nasional telah mencapai 3.745 juta kaki kubik per hari (MMScfd) atau 68,2% dari keseluruhan produksi per akhir tahun lalu.
“Prioritas pemanfaatan gas bumi Indonesia adalah untuk domestik, ditunjukkan dengan realisasi gas untuk domestik tahun 2023 sudah mencapai 68% dari keseluruhan porsi gas,” kata Kurnia saat dihubungi Bisnis, Selasa (9/7/2024).
Pemanfaatan gas bumi dalam negeri tersebut mayoritas dialokasikan untuk sektor industri sebesar 1.516 MMscfd, sedangkan untuk jaringan gas (jargas) rumah tangga sekitar 16 MMscfd. Saat ini, jargas yang telah terpasang sekitar 900.000 sambungan rumah (SR).
Adapun, SKK Migas mencatat adanya pertumbuhan realisasi lifting gas bumi untuk keperluan domestik pada periode Januai-Mei 2024 sebesar 3.719 billion british thermal unit per day (BBtud) atau mengambil porsi 70% dari total produksi nasional.
Realisasi itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya di level 3.718 BBtud atau 68% dari total produksi nasional.
Baca Juga
Kurnia mengatakan, lembaganya tengah meningkatkan monetisasi lapangan gas untuk mengejar produksi sampai 12 miliar kaki kubik gas per hari pada 2030 mendatang.
Pemerintah belakangan tengah berupaya mencari pembeli untuk memanfaatkan kelebihan pasokan atau oversupply gas dari sejumlah lapangan migas di Jawa Timur.
Sejumlah alternatif yang saat ini tengah dikaji, di antaranya pembangunan kilang mini gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG), compressed natural gas (CNG), hingga diarahkan untuk liquefied petroleum gas (LPG).
Selain itu, pemerintah turut mendorong tumbuhnya industri-industri baru seperti pabrik metanol yang potensial untuk menyerap kelebihan pasokan gas tersebut saat ini.
“SKK akan fokus pada upaya-upaya untuk peningkatan produksi minyak dan gas bumi,” kata Kurnia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyetujui rencana kewajiban pasok domestik atau domestic market obligation (DMO) gas bumi sebesar 60% untuk kebutuhan industri manufaktur dan kelistrikan domestik.
Selain itu, wajib pasok gas domestik itu juga nantinya bakal dibarengi dengan ketetapan harga kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang lebih rigid, mulai dari sisi kepala sumur (wellhead) sampai dengan di titik serah (plant gate) dengan industri pengguna.
Aturan itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Gas Bumi untuk Kebutuhan dalam Negeri. Rancangan aturan itu didorong Kementerian Perindustrian sejak 2 tahun terakhir.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menuturkan, rancangan beleid setingkat peraturan pemerintah itu telah disetujui Jokowi dalam rapat terbatas terkait dengan HGBT di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (8/7/2024) kemarin.
“Berita baik bagi kita semua, Bapak Presiden dalam ratas kemarin menyetujui pembentukan RPP Gas Bumi untuk kebutuhan domestik,” kata Agus dalam acara peluncuran PP No.20 Tahun 2024 Tentang Perwilayahan Industri, Selasa (9/7/2024).
Menurut Agus, selama ini kewajiban pasok atau ketersediaan gas untuk industri manufaktur tidak diatur secara tegas.
Konsekuensinya, pasokan gas untuk industri dari lapangan kelolaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tidak berkelanjutan dan belakangan harga gas justru naik hampir dua kali lipat dari amanat HGBT di level awal US$6 per MMBtu.
“Kalau kita lihat sekarang dalam neraca dari total produksi gas nasional, sekarang yang diperuntukkan atau yang dialokasikan untuk manufaktur dan termasuk pupuk baru 40%, ini terjadi secara alamiah seperti itu belum ada regulasi,” kata Agus.
Di sisi lain, dia menambahkan, pemerintah turut membuka opsi impor gas untuk memenuhi keperluan industri manufaktur domestik. Dia menegaskan, nantinya beleid itu bakal membuka lebar kompetisi harga antara gas produksi di dalam negeri dengan harga impor.