Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Beberkan Penyebab Tingkat Kemiskinan Era Jokowi Susah Capai Target

Ekonom memberi catatan soal penurunan tingkat kemiskinan di pemerintah Presiden Jokowi yang masih jauh dari target.
Warga beraktivitas di pemukiman kawasan Menteng Pulo, Jakarta, Senin (11/9/2023). Bisnis/Arief Hermawan P
Warga beraktivitas di pemukiman kawasan Menteng Pulo, Jakarta, Senin (11/9/2023). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com JAKARTA – Tingkat kemiskinan pada Maret 2024 turun menjadi sebesar 9,03% atau mencapai titik terendah selama satu dekade. Namun, angka tersebut masih jauh di atas target Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada kisaran 6,5% hingga 7,5% pada 2024.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan bahwa upaya pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan hingga ke level satu digit, apalagi setelah meningkat akibat pandemi Covid-19, perlu diapresiasi.

Di sisi lain, Yusuf menilai bahwa tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan ke level yang lebih rendah akan semakin rumit ketika tingkat kemiskinan sudah berada ada level digit satu digit.

“Hal ini karena pemerintah akan berhadapan dengan masalah kemiskinan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan pun harus dilakukan secara simultan komprehensif dan melibatkan banyak pihak,” katanya kepada Bisnis, Selasa (2/7/2024).

Tanpa langkah yang komprehensif, Yusuf menilai upaya penurunan kemiskinan sulit berharap dengan pendekatan business as usual sebagai solusi tunggal dalam menurunkan tingkat kemiskinan lebih rendah.

“Tidak heran juga kemudian pemerintah merevisi angka target penurunan tingkat kemiskinan pada 2024 mengingat tadi, masalah solusi yang harus lebih komprehensif dan pada saat yang bersamaan kalau mengacu pada data saat ini, tantangan dalam menahan agar orang tidak jatuh miskin itu relatif tidak mudah,” jelasnya.

Menurutnya, hal ini dikarenakan daya beli masyarakat secara umum belum sepenuhnya terjaga atau bisa berada pada fase yang berkelanjutan.

“Artinya apa yang mereka dapatkan saat ini hanya dikonsumsi untuk kebutuhan saat ini, tanpa ada kepastian apakah di fase atau periode waktu mendatang mereka bisa tetap berada pada konsumsi atau kondisi daya beli yang terjaga,” katanya.

Kondisi ini, kata Yusuf, mengingat masyarakat umumnya banyak yang bekerja di sektor yang informal. Pasalnya, salah satu karakteristik sektor informal, yaitu kepastian upah relatif kecil dan nominal upah juga tidak umum atau tidak sesuai dengan standar pemerintah.

Dia menilai, upaya penurunan tingkat kemiskinan ke depan harus melibatkan masyarakat agar bisa masuk ke sektor kerja formal yang secara upah relatif lebih menjanjikan dan secara kepastian juga relatif lebih baik dibandingkan sektor informal.  

Di samping melanjutkan penyaluran bantuan sosial, pemerintah, kata dia, harus membuka opsi memberikan bantuan sosial tidak hanya kepada kelompok miskin dan rentan miskin, tetapi juga kelompok kelas menengah yang disesuaikan dengan pola ataupun biaya konsumsi kelas tersebut.

“Selain itu upaya menggandeng pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah kemiskinan tidak kalah penting mengingat simpul kemiskinan itu relatif berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain,” kata Yusuf.

Senada, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky berpendapat bahwa tantangan pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan yang sudah mencapai level satu digit akan lebih sulit kedepannya.

Artinya kalau dari tingkat kemiskinan 20% ke 10% lebih mudah daripada menurunkan angka dari 10% ke 5%. Menurutnya, kesulitan ini sama seperti kasus pertumbuhan ekonomi, semakin tinggi maka semakin sulit menjaga tingkat yang tinggi tersebut.

"Makanya, semakin lama negara tumbuh tinggi, biasanya pertumbuhannya melandai, begitu juga dengan angka kemiskinan,” jelas Riefky.

Dia mengatakan pemerintah perlu memikirkan upaya menciptakan produktivitas. Tidak hanya berfokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi menciptakan tingkat pendidikan yang lebih baik, penciptaan lapangan kerja yang lebih produktif, serta menurunkan angka masyarakat yang bekerja di sektor informal.

“Ini krusial, karena informalitas ini menurunkan welfare atau penerimaan masyarakat yang tadinya bisa digaji secara formal. Kalau bisa diselesaikan, ini bukan hanya memperbaiki masyarakat miskin, tapi masyarakat menengah atas akan terbantu dengan adanya perbaikan struktural ini,” kata dia.

Lebih lanjut, Riefky mengatakan bahwa pemerintah juga perlu berfokus menurunkan tingkat ketimpangan. Hal ini karena walaupun masyarakat miskin lebih sejahtera, tetapi masyarakat menengah banyak yang kesejahteraannya turun.

“Ke depan pemerintah memang perlu pikirkan kebijakan yang lebih struktural, perlindungan sosial perlu dilanjutkan, tapi yang lebih penting bagaimana masyarakat bisa lebih produktif dalam perekonomian," ucapnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper