Bisnis, jAKARTA - Harga apartemen di kawasan Jakarta dan sekitarnya terbilang overprice atau kemahalan. Kondisi ini memicu keengganan masyarakat tinggal di apartemen pusat kota dan lebih memilih rumah tapak meski berlokasi lebih jauh.
Properti residensial di Indonesia berbeda dengan kondisi di Jepang dan Singapore, di mana harga rumah tapak cenderung lebih mahal ketimbang apartemen. Apa yang menyebabkan mahalnya apartemen di Jakarta?
Harga properti di pusat kota menjadi salah satu ulasan pilihan yang dirangkum dalam Top 5 News Bisnisindonesia.id edisi Selasa (2/7/2024). Selain itu terdapat pula sejumlah sajian menarik lainnya seperti urgensi penghiliran, era suku bunga rendah dan kisah Dato Sri Tahir. Berikut selengkapnya.
1. Faktor Harga Kemahalan Jadi Penyebab Apartemen Tak Laku
Di Indonesia, apartemen terbilang produk mahal yang menyasar kalangan masyarakat menengah dan menengah ke atas. Hal ini yang membuat hunian rumah tapak lebih laris manis meskipun lokasinya jauh dari pusat kota Jakarta.
Saat ini, harga apartemen menengah ke bawah dibanderol sekitar Rp17,4 juta per meter persegi, segmen menengah Rp24,5 juta per meter persegi, segmen menengah atas Rp33,4 juta per meter persegi, segmen atas Rp46,9 juta per meter persegi, dan mewah Rp67,9 juta per meter persegi.
Baca Juga
Harga apartemen seluas 100 meter persegi dengan 2 kamar tidur misalnya dihargai sekitar Rp3 miliar di Jakarta. Nilai tersebut sama dengan harga rumah tapak di kawasan Bodetabek dan bahkan lebih murah sehingga membuat masyarakat lebih memilih hunian rumah tapak.
Di sisi lain, sebagian besar apartemen menawarkan tipe studio yang biasanya dicari oleh investor. Sedangkan, referensi kalangan end user yang mencari ukuran apartemen yang luas dengan 2+1 bedroom.
Apa yang menyebabkan tingginya harga apartemen di Jakarta?
2. Urgensi Penghiliran Bauksit, Proyek Smelter yang Jalan di Tempat
Besarnya kebutuhan aluminium di dalam negeri yang selama ini dipenuhi dari produk impor menjadi alarm betapa urgennya penambahan kapasitas terpasang smelter bauksit.
Terlebih, pemerintah memang berambisi menggandakan kapasitas produksi aluminium di Tanah Air menjadi 1,5 juta—2 juta ton pada 2025 untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat seiring dengan era transisi energi.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, saat ini terdapat dua smelter aluminium yang berdiri sendiri (stand alone) di Indonesia dengan kapasitas input 1 juta ton per tahun dan output 500.000 ton per tahun.
Adapun, sebanyak 500.000 ton diproduksi oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan 500.000 ton lainnya diimpor oleh PT Hua Chin Aluminium Industry.
Di sisi lain, pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit hingga kini kenyataannya masih terkesan jalan di tempat karena lambatnya progres pengerjaan smelter pascapelarangan ekspor komoditas itu dalam bentuk barang mentah sejak tahun lalu.
Kalaupun ada investor yang awalnya tertarik membangun smelter bauksit di Indonesia, satu per satu malah menarik diri. Padahal, cadangan bauksit di Tanah Air cukup melimpah, bahkan ketahanannya cukup untuk 97 tahun ke depan jika mengacu pada data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
3. Jejak Pembalikan Arah Jelang Era Suku Bunga Rendah
Jejak pembalikan arah kinerja aset pasar modal kian dekat menjelang dimulainya era suku bunga rendah. Kondisi ini menandai prospek cerah bagi kinerja surat utang maupun saham di Tanah Air.
Berdasarkan data Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), Indonesia Composite Bond Index (ICBI) tercatat tumbuh 3,61% sepanjang 2024. Sementara itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) terkoreksi 2,88% pada periode yang sama.
Kepala Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto mengatakan bahwa secara umum, perubahan siklus suku bunga acuan menjadi salah satu katalis bagi kinerja aset di pasar keuangan.
Dia berujar bahwa suku bunga acuan yang tinggi menimbulkan koreksi di pasar saham dan surat utang. Alasannya, tingginya suku bunga acuan acapkali diiringi dengan pelemahan nilai tukar sehingga menekan kinerja kedua aset tersebut.
Di sisi lain, suku bunga acuan yang mahal membuat investor meminta kupon surat utang yang lebih tinggi. Di pasar saham, suku bunga acuan mahal juga menjadi penekan bagi potensi pertumbuhan laba emiten. Kendati demikian, dia menyebut momen ini sangat tepat bagi investor yang mencari aset dengan harga terdiskon.
4. Fakta-Fakta Aplikasi Temu, Digugat AS dan Ditolak Indonesia
Aplikasi belanja online asal China, Temu mendapatkan penolakan di beberapa negara. Dua di antaranya adalah Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
Negara bagian AS, Arkansas, menggugat pemilik Temu. Hal tersebut lantaran dinilai memiliki kekuatan untuk mencuri data konsumen warganya. Selain itu, secara fungsional merupakan perangkat lunak berbahaya dan jahat, atau yang dikenal sebagai malware.
Jaksa Agung Tim Griffin mengatakan bahwa Temu dan perusahaan induknya PDD Holdings Inc. telah terlibat dalam praktik perdagangan yang menipu, dengan kebijakan pengumpulan data yang diterapkan perusahaan tersebut.
“Meskipun dikenal sebagai platform e-commerce, Temu pada dasarnya adalah malware dan spyware,” katanya melansir bisnis.com yang mengutip PCmag, Minggu (30/6/2024).
Griffin menjelaskan bahwa aplikasi itu sengaja dirancang untuk mendapatkan akses tanpa batas ke sistem operasi ponsel pengguna. Temu juga disebut mengabaikan pengaturan privasi data pada perangkat pengguna, dan memonetisasi pengumpulan data yang tidak sah.
5. Dato Sri Tahir: Tak Percaya Passion Jadi Kunci Sukses
Taipan bidang keuangan dan kesehatan, menantu seorang konglomerat, dan anak yang berbakti, adalah tiga hal yang menggambarkan Dato’ Sri Tahir. Dia bukan pewaris bisnis, tetapi jejaknya membangun Mayapada Group patut menjadi inspirasi.
Ang Tjoen Ming, nama kecilnya, mengawali hidup dari seorang anak penyewa becak yang menggantungkan hidupnya dari uang setoran becak. Sejak usia 10 Tahun, ayahnya telah mengajarkan Tahir berbisnis, dimulai dengan berjualan gantungan cangkir dan menjajakannya di sekitar daerah Solo.
Dia menamatkan pendidikan di SMA Kristen Petra Kalianyar Surabaya. Sempat memiliki cita-cita menjadi dokter, Tahir muda harus merelakan mimpinya karena terpaksa meneruskan bisnis sang ayah yang sakit keras dan tak bisa membiayainya untuk kuliah.
Namun, atas kegigihannya, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Nanyang Technological University di Singapura. Sambil kuliah, Tahir juga menjajal peruntungan di bisnis impor barang mewah dari Singapura hingga Hong Kong.
Saat itu pula lah dia mendapat kesempatan bertemu dengan sang istri, Rosy Riady.