Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Merger Angkasa Pura Mau Genjot Pendapatan Non-Aero, Pengamat Beri Saran

Alvin Lie menilai merger Angkasa Pura perlu menilik sejumlah aspek sebelum meningkatkan pendapatan non-aero.
Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta./ Dok. Angkasa Pura II
Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta./ Dok. Angkasa Pura II

Bisnis.com, JAKARTA – Upaya BUMN Holding Pariwisata dan Aviasi, PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau InJourney menggenjot sektor bisnis non penerbangan atau non aero dari merger PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II menjadi PT Angkasa Pura Indonesia atau InJourney Airports perlu memperhatikan beberapa aspek.

Pemerhati penerbangan Alvin Lie memaparkan, segmen non aero merupakan penerimaan perusahaan pengelola bandara di luar pelayanan pesawat udara. Penerimaan ini didapat dari sektor usaha pendukung di bandara seperti ruang iklan (advertisement space), penyewaan tenant untuk restoran, hotel, toko ritel, dan sebagainya.

Alvin menyebut, penerimaan non aero yang didapat perusahaan pengelolan bandara di Indonesia cenderung kecil karena belum dikelola secara optimal. Dia menuturkan, salah satu aspek yang harus dibenahi untuk mengembangkan penerimaan non aero adalah biaya sewa dan bagi hasil.

Dia menjelaskan, perusahaan pengelola bandara di negara lain tidak akan memungut biaya bagi hasil atau konsesi jika sudah membebankan biaya sewa kepada tenant. Namun, di Indonesia kedua biaya ini masih dipungut kepada para tenant.

Hal ini membuat harga barang-barang atau makanan yang dijual di bandara-bandara Indonesia cenderung lebih mahal bila dibandingkan dengan di luar bandara.

“Kita bandingkan dengan bandara-bandara di Jepang contohnya, harga makanan dan barang-barang tidak lebih mahal daripada di kota, bahkan bisa lebih murah. Ini masih perlu ditata lagi ke depannya untuk bandara-bandara di Indonesia,” jelas Alvin saat dihubungi, Selasa (25/6/2024).

Alvin melanjutkan, upaya menggenjot penerimaan bisnis non-aero juga perlu dibarengi dengan peningkatan pelayanan kepada para penumpang. Hal ini tidak hanya menjadi tugas operator bandara, tetapi juga pihak terkait lainnya seperti maskapai.

Dia mencontohkan, Bandara Changi di Singapura memberikan insentif kepada para maskapai yang dapat melayani check-in para penumpang dengan cepat. 

Alvin menuturkan, proses check in yang lebih cepat akan menambah peluang penumpang untuk menghabiskan waktunya berbelanja atau makan di salah satu tenant bandara. Sehingga, penerimaan non-aero dapat digenjot secara maksimal.

“Demikian juga penataan vendor atau penjual di bandara harus diperhatikan agar lebih variatif. Letak atau lokasi toko-toko itu juga harus lebih strategis agar dapat menarik penumpang,” jelas Alvin. 

Sebelumnya, Direktur Utama InJourney, Dony Oskaria memaparkan, proses penggabungan ini mengacu pada best practice pada perusahaan pengelola bandara di dunia. Dony menuturkan, sebagian besar pendapatan dari usaha pengelolaan bandara di dunia berasal dari sektor nonpenerbangan atau non-aero seperti ritel dan properti. 

Sementara itu, saat ini penerimaan perusahaan pengelola bandara di Indonesia masih didominasi oleh segmen aero. 

“Rata-rata pendapatan non-aero bandara di Indonesia saat ini masih sekitar US$3 per penumpang [pax]. Masih jauh di bawah bandara lain seperti Changi atau Incheon yang mencapai US$13 per pax,” jelas Dony


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper