Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah blok minyak dan gas (migas) belakangan kembali menggunakan skema kontrak bagi hasil cost recovery.
Praktisi minyak dan gas bumi (migas) Hadi Ismoyo menerangkan peralihan kontrak itu disebabkan karena skema sebelumnya, gross split cenderung menyulitkan rencana pengembangan lapangan.
“Banyak wilayah kerja berat cash flow-nya dan bahkan bisa negative cash flow-nya,” kata Hadi saat dihubungi, Kamis (20/6/2024).
Dengan demikian, kata Hadi, manuver untuk kembali ke cost recovery mesti diambil untuk menjaga lapangan tetap beroperasi.
Menurut dia, penerapan skema kontrak gross split sebelumnya relatif tidak cermat untuk dilakukan. Konsekuensinya, sebagian lapangan tidak dapat dikembangkan lewat skema gross split tersebut.
“PSC [kontrak bagi hasil] gross split terlalu dipaksakan di masa lalu, tanpa kajian mendalam secara komersial dan tax regime sehingga pelaksanaannya tidak seindah teorinya,” kata dia.
Baca Juga
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, skema kontrak cost recovery cenderung lebih menarik untuk diadopsi ketimbang gross split.
Alasannya, kata Moshe, biaya operasi hulu migas nantinya bakal dipulihkan oleh negara. Dengan demikian, risiko eksplorasi dan pengembangan lapangan awal bisa ditekan oleh kontraktor.
“Banyak perusahaan yang berpikiran dengan cost recovery, risiko kita makin kecil karena semua cost dikembalikan oleh pemerintah,” kata Moshe.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyetujui permohonan perubahan skema kontrak bagi hasil dari gross split menjadi cost recovery empat blok minyak dan gas bumi (migas) garapan PT Pertamina Hulu Energi (PHE).
Keempat lapangan migas itu, di antaranya Blok Offshore Southeast Sumatra (OSES), Offshore North West Java (ONWJ), Attaka, dan Tuban East Java.
“Kita perhitungkan begitu [cost recovery naik], kita minta juga kamu kalau dikasih ini kamu mau ngasih berapa [produksi],” kata Arifin saat ditemui di Gedung Ditjen Migas, Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Persetujuan migrasi kontrak itu turut mengerek perkiraan tambahan anggaran cost recovery atau pengembalian biaya operasi hulu migas tahun depan.
Arifin meminta tambahan anggaran pengembalian operasi hulu migas di rentang US$8,5 miliar sampai dengan US$8,7 miliar ke Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat rapat kerja penetapan Asumsi Dasar Sektor ESDM dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, Rabu (19/6/2024) kemarin.
Usulan tambahan anggaran cost recevery itu, kata Arifin, untuk mengakomodasi sejumlah perubahan kontrak bagi hasil dari PHE tahun depan.
Kendati demikian, Arifin menegaskan, kementeriannya menagih rencana produksi yang lebih agresif dari PHE selepas persetujuan peralihan kontrak tersebut.
“Terutama lapangan-lapangan Pertamina yang kita perhitungkan akan pindah karena dengan gross split jadi ogah-ogahan,” tuturnya.