Bisnis.com, JAKARTA - Pemilihan umum Inggris dibayangi oleh isu keberlanjutan utang seiring dengan tingkat utang tertinggi sejak 1960-an. Sementara itu, tingkat investasi yang lesu akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Inggris mencatatkan defisit anggaran capai 120,7 miliar pound sterling, lebih besar dari perkiraan Kantor Tanggung Jawab Anggaran senilai 114,1 miliar pound sterling.
Data tersebut menunjukkan adanya tekanan terhadap keuangan publik ketika Perdana Menteri Rishi Sunak mempersiapkan pemilihan umum tahun ini.
Investor bakal lebih waspada akan tantangan fiskal yang dihadapi negara ini. Bloomberg mencatat utang nasional Inggris mencapai 2,69 triliun pound sterling atau 98,3% dari PDB.
“Dalam pemilu kali ini, krisis anggaran kecil pada tahun 2022 tampak sangat besar,” kata Karen Ward, kepala strategi pasar Eropa di JP Morgan Asset Management.
Di sisi lain, Peringkat daya saing Indonesia tercatat melesat tujuh peringkat dari tahun lalu ke posisi 27 dari 64 negara di dunia menurut World Competitiveness Center (WCC) pada 2023.
Baca Juga
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan dan pembangunan pesat. Imbasnya kini Indonesia memegang peranan penting dalam perdagangan, investasi, inovasi, dan geopolitik.
Direktur World Competitiveness Center (WCC) IMD Arturo Bris menyampaikan selain naik dari posisi 34 pada tahun sebelumnya, Indonesia berada di posisi tiga besar setelah Singapura dan Thailand untuk kawasan Asia Tenggara.
Dalam hal ini, Indonesia menggantikan posisi Malaysia yang pada tahun sebelumnya berada pada peringkat 27.
Dua petikan berita tersebut merupakan bagian dari sajian pilihan Bisnisindonesia.id yang dibuat secara mendalam dan analitik. Berikut sejumlah berita pilihan selengkapnya.
1. Isu Utang dan Investasi Lesu Jadi Sorotan Pemilu Inggris
Permasalahan investasi ternyata mulai memengaruhi pertumbuhan ekonomi Inggris yang melambat. Kondisi tersebut juga ikut menambah isu panas di medan pertempuran utama menjelang pemilihan umum.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh lembaga think tank Institut Penelitian Kebijakan Publik (IPPR), investasi Inggris sudah jauh tertinggal dari mitranya di G7.
Hal itu merujuk dari data Organisasi untuk Koordinasi dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang ketika mengukur total investasi, Inggris memiliki tingkat investasi terendah di G7 sebesar 24 poin selama 30 tahun terakhir.
Inggris mencatatkan investasi hanya 18,3% dari total pendapatan nasional. Inggris berada di posisi bawah Amerika Serikat yang mencapai tingkat investasi sebesar 21,2% dari total pendapatan nasional.
2. Menggairahkan Pasar Syariah Industri Leasing
Pembiayaan syariah industri multifinance terus mengalami peningkatan. Pelaku usaha menyiapkan strategi untuk meningkatkan kontribusi dari sektor syariah.
Berdasarkan data statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pembiayaan berdasarkan prinsip syariah mencapai Rp26,3 triliun hingga Maret 2024. Angka itu mengalami peningkatan 2,5% secara bulanan atau mouth-to-mouth (MtM) dibandingkan dengan Februari 2024 sebesar Rp25,67 triliun. Apabila dilihat secara tahunan atau year-on-year (YoY) meningkat 75,64% dari Rp19,91 triliun pada Maret 2023.
Dalam hal ini, PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk mencatatkan penyaluran pembiayaan berbasis syariah sebanyak Rp3,8 triliun hingga Mei 2024. Catatan tersebut meningkat 7% secara tahunan (YoY) jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Chief Financial Officer (CFO) Adira Finance Sylvanus Gani mengatakan, kenaikan pada pembiayaan baru syariah tersebut dikontribusi oleh pertumbuhan pada segmen non-otomotif. “Pertumbuhan ini juga antara lain didukung oleh adanya momen lebaran pada bulan April 2024, kegiatan pemasaran yang agresif, ekspansi dari kanal-kanal penjualan di komunitas syariah,” kata Gani kepada Bisnis, Selasa (18/6/2024).
Gani mengatakan, perseroan juga memaksimalkan penjualan produk syariah khususnya non-otomotif seperti produk Adira Multi Dana Syariah (AMANAH). Pembiayaan baru syariah tersebut secara keseluruhan berkontribusi sebanyak 22% dari total portofolio pembiayaan Adira Finance hingga Mei 2024.
3. Pesona Saham BRIS Tak Memudar Meski Dana Muhammadiyah Hengkang
Kinerja saham emiten bank syariah, PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) mulai kembali bangkit usai menghadapi tekanan akibat sentimen penarikan dana dari Muhammadiyah. Kalangan analis pun belum kehilangan asa terhadap saham perseroan.
Pekan lalu, saham BRIS bahkan tercatat kembali naik sebesar 4,59% ke level Rp2.280 pada akhir pekan, Jumat (14/6/2024). Peningkatan kinerja ini sedikit mengurangi tekanan harga yang sudah terjadi sepanjang satu bulan terakhir. Koreksi saham BRIS dalam sebulan terakhir tinggal -10,24%.
Meski masih memerah jika diukur secara bulanan, kenyataannya saham BRIS masih jauh berada di atas posisi harganya pada akhir tahun 2023 lalu. Dengan kata lain, saham BRIS masih mencetak return positif sepanjang tahun berjalan 2024 atau secara year-to-date (YtD), tepatnya sebesar 31,03%.
Selain itu, di tengah aksi jual investor asing di seluruh pasar, mereka masih cenderung optimistis terhadap saham BRIS. Ini terlihat dari posisi net buy sebesar Rp22,77 miliar pekan lalu. Sementara itu, sepanjang tahun berjalan BRIS mencatatkan net foreign buy sebesar Rp960,79 miliar.
Saham BRIS memang mendapatkan sentimen yang kurang menguntungkan dari keputusan PP Muhammadiyah untuk melakukan konsolidasi keuangan di lingkungan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) sejak akhir Mei 2024 lalu.
4. Mencari Jalan Tengah Harga Gas Industri
Kelanjutan kebijakan harga khusus gas yang dipatok US$6 per million British thermal units (MMBtu) bagi tujuh sektor industri tertentu pada tahun depan masih menjadi perdebatan, baik di kalangan pemerintah maupun pelaku usaha migas dan industri pengguna komoditas tersebut.
Kendati Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya menyebutkan bahwa kebijakan harga gas murah tersebut akan dilanjutkan, nyatanya hingga kini belum ada perkembangan.
Terbaru, muncul sejumlah opsi terkait dengan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang dinilai bisa menjadi solusi yang saling menguntungkan pelaku usaha, baik di sisi hulu, midstream, maupun hilir.
Indonesian Gas Society (IGS) memproyeksikan pertumbuhan permintaan gas bumi sebagai energi transisi menuju energi bersih akan makin besar ke depannya, sesuai dengan komitmen pemerintah untuk mencapai target nol emisi karbon (net zero emission/NZE).
5. Menjaga Performa Pengungkit Daya Saing RI
Direktur World Competitiveness Center (WCC) IMD Arturo Bris menyebutkan jebloknya performa Malaysia tahun ini lantaran pelemahan mata uang yang disertai dengan ketidakstabilan politik dan ketidakpastian kebijakan pemerintah.
“Daya saing Indonesia didongkrak oleh peningkatan performa ekonomi, kemampuan menarik kapital, dan pertumbuhan PDB. Tahun ini performa ekonomi Asia Tenggara amat baik, kecuali untuk Malaysia yang turun peringkat,” terangnya dalam keterangan resmi, Selasa (18/6/2024).
Di sisi lain, peringkat Indonesia hanya terpaut tipis dengan Inggris yang berada di posisi 28. Bris menyampaikan peringkat daya saing Inggris anjlok setelah Brexit lantaran terisolasi dari negara Eropa lain. Meski demikian, peringkat Inggris baru membaik tahun ini.
Pada dasarnya, IMD World Competitiveness Center (WCC) menggunakan empat indikator untuk menentukan peringkat WCR 2024, yaitu performa ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.