Bisnis.com, JAKARTA – Persetujuan antar anggota kabinet yang kemudian diterbitkan dalam Peraturan Pemerintah untuk implementasi cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik tak kunjung berpogres hingga pertengahan tahun ini.
Perluasan objek cukai yang dirancang sejak 2017 itu belum dapat terlaksana meski telah mendapat persetujuan perluasan objek cukai baru dari DPR 2019. Saat yang sama, pemerintah telah menyetujui ada penerimaan dari cukai MBDK dan plastik dicantumkan dalam APBN tahun berjalan. Mengacu APBN 2024, pemerintah membidik penerimaan dari cukai MBDK dan plastik senilai Rp6,24 triliun. Meski demikian, pemungutan cukai ini membutuhkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk dapat direalisasikan.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menyampaikan dengan belum berjalannya kebijakan tersebut hingga saat ini, pihaknya akan kembali menyiapkan untuk tahun depan.
“Disiapkan untuk 2025. Kalau sampai 2024 nggak bisa jalan, kami antispasi lah. Tergantung pemerintah, kan kita harus ikutin posisi lintas K/L [persertujuan draf PP sebelum diserahkan ke presiden],” ujarnya di kompleks DPR, Senin (11/6/2024).
Asko, sapaannya, juga mengakui sampai saat ini masih belum tau mekanisme untuk penerapan kebijakan tersebut. Dirinya menyampaikan, saat ini masih memantau kondisi lapangan untuk pelaksanaan kebijakan cukai MBDK dan plastik.
“Itu ada di BKF, belum tau [mekanismenya seperti apa]. Target bisa kami sesuaikan, kan kami kebijakan harus lihat kondisi lapangan,” lanjutnya.
Baca Juga
Selain pajak, cukai menjadi sumber penerimaan untuk memenuhi kebutuhan negara. Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, tercantum bahwa cukai MBDK dan plastik menjadi salah satu cara untuk mendorong penerimaan negara.
Artinya, bila tidak ada penerimaan dari cukai tersebut, penerimaan negara yang ditargetkan akan hilang.
Direktur Eksekutif dan Analis Kebijakan Pajak Pratama-Kreston Tax Reserch Institute Prianto Budi Saptono menyampaikan pada dasarnya kebijakan ini fokus kepada pengendalian MBDK dan plastik, bukan kepada penerimaan.
“Hasil pemungutan cukai tersebut digunakan untuk menanggulangi dampak negatif dari konsumsi gula dan plastik. Jadi, ketika aturan cukai tersebut mundur, artinya tidak ada pengendalian konsumsi gula dan plastik melalui instrumen fiskal,” tuturnya, Selasa (11/6/2024).
Terganjal Faktor Politik
Manajer Riset dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat maju mundur implementasi cukai minuman manis dan plastik ini tampaknya akibar faktor politik pada masa transisi. Proses politik, meski masa pemilu sudah usai, menjadi penghambat dalam pembentukan aturan turunan implementasi kebijakan ekstensifikasi.